Tentang yang semestinya tetap
ada namun melenyap dan sebaliknya
PADANG BULAN
Drama sederhana buat belia
Karya : Ucok Klasta
Tokoh – tokoh
Padang, Bulan, Jembar, Kalangan, Aki, Nini / (sekaligus)
Ibu lugu, Lugu, pejabat Pemerintah Kota, Politikus (Anggota Dewan Kota), Boss
(Pengusaha), Petugas Kamtib
MULAI
ADEGAN I
Lagu Tema : Padang Bulan.
Lampu hidup.
Pekarangan depan rumah Aki-Nini.
Bulan masuk panggung, berteriak memanggili
teman-temannya.
001. Bulan : Hoooiii …Teman-temaaan …! Padaaang …! Jembaaar …!
Kalangan …! Ayo kumpuuul … ! Malam bulan purnama betapa indahnya …! Jangan di
rumah saja …! Mari kemari …! Bermain bersama di sini …!
Dari belakang panggung bersama-sama.
002. Koor : Aduhaaai …Betapa …! Bulan purnama …Ooo indahnya …!
Padang masuk.
003. Padang : Mana yang lain ?
004. Bulan, Padang : Jembaaar …! Kalangaaan!
Jembar masuk.
005. Bulan : Kamu tak bersama kalangan, Jembar ?
006. Jembar : Tidak.
007. Bulan, Padang, Jembar : Kalangaaan …!
Kalangan masuk dengan diam-diam lantas berteriak
mengagetkan teman-teman.
008. Kalangan : HEI !!!
009. Bulan, Padang, Jembar : Ora kageeet …Weee !
Semuanya tertawa.
010. Padang : Nah, main apa kita sekarang ? Kejar-kejaran? Betengan?
Gaprakan ? Tebak-tebakan?
011. Jembar : Tebak-tebakan saja deh.
012. Kalangan : Ya, setuju. Tebak-tebakan.
013. Padang : Yang tak bisa menebak, apa hukumnya?
014. Bulan : Mmm … Di suruh menari saja.
015. Jembar : Usul. Bagaimana kalau menirukan gerak binatang.
017. Kalangan : Menirukan gerak binatang dengan tarian?
018. Padang, Bulan, Jembar : Ya ya ya …
019. Kalangan : Setuju?
020. Padang, Bulan, Jembar : Setujuuu …
Mereka duduk melingkar (setengah lingkaran
menghadap penonton).
Cara bermain : Anak-anak mengeja huruf
bergiliran dan urut seiring dengan musik. Saat musik berhenti pada anak
tertentu, ia menyebutkan nama sesuatu yang dijadikan tebakan sesuai huruf
terakhir yang diejanya.
Musik – Lagu Tema : Padang Bulan.
021. Bulan : Nama apa? Buah ya?
022. Padang, Jembar, Kalangan : Ya, buah …
Musik.
023. (Urut) : A, B, C, D, E, F …
024. Jembar : (Gelagapan) G …
025. Bersama : (Bersahutan) Haa …Jembar berdiri Ayo …Ayo …
Jembar berdiri.
Koor lagu ‘ Menthog-mentog’ tapi dengan kata
‘menthog’ diganti nama binatang lain dan gerakannya harus ditirukan yang kena
hukuman. Lantas permainan mulai lagi sampai beberapa kali (fleksibel)
ADEGAN 2
Lagu Tema.
Aki-Nini keluar rumah (masuk panggung), berdiri
diteras memanggil anak-anak.
026. Nini : Hei cucu-cucuku! Istirahat dulu. Ini ada klenyem anget
bikinan Simah. Ayo. Semua ke sini …
027. Aki : Iyo. Bulan, Padang, Jembar, Kalangan …Yo nganggo leren
barang podho mreneo Nang bagus, Nok ayu …
028. Koor : Haa … Klenyem … Woooow … keren …
Anak-anak berentengan ke teras, pada duduk menggelesot.
Nini meletakkan piring berisi klenyem.
029. Aki : Ingat … Tidak usah re …?
030. Koor : Butaaan …
031. Aki : Yang ada dibagi me …?
032. Koor : Rataaa …
033. Nini : Maka tak ada yang tak keba …?
034. Koor : Giaaan …
035. Aki : Sebab tak ada kesera …?
036. Koor : Kahaaan …
037. Bulan : Inilah saudara-saudara tercinta, para penonton sekalian,
indahnya …
038. Koor : Kebersamaaan ….
040. Aki-Nini : Wis … Wis …
Anak-anak menikmati klenyem bersama-sama.
041. Padang : Ayo Simbah … Seperti biasanya …
042. Jembar : Iya … Cerita.
043. Kalangan : Biar tambah nikmat klenyemnya.
Nini masuk rumah (keluar panggung).
044. Aki : Ya ya ya … Untuk purnama kali ini Simbah sudah menyiapkan
sebuah dongeng istimewa. Sebab apa ? Sebab hari ini tepat weton-nya
Nini.
045. Koor : Ooo …
Aki masuk rumah (keluar panggung) dan keluar lagi
membawa sebuah buku tebal, duduk di kursi / lincak, membersihkan debu pada buku
dan membukanya.
046. Aki : Nah, dengarkan ya … Dulu cucu-cucuku …
Musik Latar.
047. Aki : Di sebuah desa tersebutlah seorang pemuda bernama Lugu …
Lampu mati.
Aki dan anak-anak keluar panggung.
Pergantian ‘ setting’.
ADEGAN 3
Lampu hidup.
Lugu masuk panggung.
Narasi Aki dari luar panggung.
Lugu memperagakan cerita Aki.
048. Aki : Syahdan di sebuah desa, tersebutlah seorang anak bernama
Lugu. Ia mendengar cerita-cerita bahwa di kota alangkah majunya. Apa-apa ada,
tak seperti desanya. Maka di suatu siang yang sunyi, nyeyet, tak ada orang,
diiringi lagu dari suara keresek daun bambu digoyang sepoi angin lalu,
berangkatlah ia ke kota. Ternyata nun di sana, memang benar apa yang ia dengar.
Kota, ruaaarrr biasaaa … Gedung-gedung bagus tinggi menjulang-laaang … bagai
menjolok awan. Mobil-motor war-wer-war-wer
berseliweran, bagai tak berkesudahan. Supermarket bertaburan menggoda, seolah
semua keinginan kita tersedia di sana. Tempat hiburan sungguh aneka ragam,
seolah tak ada kesedihan everything just for fun. Dan pabrik-pabrik di
pinggir-pinggirnya, laksana benteng gagah perkasa. Di tengah kota. Istana raja
diraja walikota, kokoh megah mencerminkan kekuasaan berwibawa. Di sebelahnya. Istana
satria-satria diraja dewan kota, elok anggun mencerminkan kebijaksanaan
penghuninya. Di sana-sini, istana saudagar-saudagar, mewah kencar-kencar
mencerminkan kesuksesan bisnisnya. Alun-alunnya? Ada tugu tertinggi sedunia,
entah habis berapa membangunnya, yang penting jadilah lambang ; kemakmuran
kota. Kota, ruaaarrr biasaaa …
lugu terus berjalan-jalan dengan takjub, terpesona buaian kota. Sampai
akhirnya ia pun merasa lapar. Lugu bingung jadinya. Bangaimana bisa mendapatkan
makanan ya? Kerja? Kerja apa ya? Minta? Minta siapa ya? Mem-bedhol
ketela? Tegalnya mana ya? Lugu tambah dan tambah dan tambah bingung … Keringat
dingin mengalir … Lemas sekujur badan … Kelaparan … Jatuhlah ia ndeprok.
Dan tanpa disadarinya tangannya telah terangkat pelan-pelan … Makin terangkat …
Menadah … Lugu ndeprok di pinggir jalan dekat restoran kondang ;
menadahkan tangan!
049. Lugu : Kasihanilah Tuan … Kasihanilah Nyonya … Seikhlasnya Tuan …
Seikhlasnya Nyonya … Kasihanilah Tuan … Kasihanilah Nyonya … Seikhlasnya Tuan …
Seikhlasnya Nyonya …
Pejabat, Politikus dan Boss (masuk panggung)
keluar dari restoran habis ‘meeting’,
berjalan hanya melewati Lugu saja sambil
bercakap-cakap.
050. Boss : Sekali lagi ini bukan suap Pak / Bu … Yah, sekedar
silaturahmi untuk mempererat hubungan antara kita, kalangan investor,
pemerintah kota dan dewan kota.
051. Pejabat, Politikus : Harmonis. Ya ya ya …
052. Boss : Dengan demikian akan terciptalah kerjasama propesional
yang kompak lagi saling menguntungkan.
053. Pejabat, Politikus : Harmonis. Ya ya ya …
054. Boss : Dengan demikian kota akan terus membangun, kita-kita
untung, dus segenap warga terse …
055. Semua : Nyuuummm!
056. Pejabat, Politikus : Harmonis. Ya ya ya …
057. Boss : Dengan demikian bla bla bla bla …
058. Pejabat, Politikus : Ya ya ya bla bla bla bla …
059. Koor : Bla bla bla bla bla …
Pejabat, Politikus dan Boss keluar panggung.
Musik.
Petugas Kabtib masuk panggung, mendatangi Lugu.
060. Kamtib : He! Dilarang Ngemis tahu? Dlarang menggelandang
tahu?! Kamu ini mengganggu pemandangan! Kota ini tak boleh (Sambil menengok
penonton : kelihatan) ada gelandangannya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok
penonton : kelihatan) ada pengangguranya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok
penonton : kelihatan) ada kemiskinannya Tahu ?! Tahu ?! Tahu?!
061. Lugu : Saya bukan gelandangan! Saya Lugu!
062. Kamtib : Lha iya ! Wong Lugu tur
gelandangan! Ayo ikut aku!
063. Lugu : Tidak mau!
064. Kamtib : Heh … Ngelawan kamu, ha?! Tak seret sisan kowe!
065. Lugu : Tidak mau! Saya bukan gelandangan! Saya Lugu ! Saya
manusia! Saya bukan binatang!
Kamtib dan Lugu bergelut. Lugu diseret-seret.
Lugu meronta-ronta.
Tiba-tiba berteriaklah seseorang.
Nini masuk panggung.
066. Nini : Paaak … Paaak … Anakku diapakan?! Anakku mau dibawa
kemana?!
Lugu bingung, ia merasa tidak kenal dengan
perempuan ini.
067. Kamtib : Ini anak Ibu?
068. Nini : Iya.
069. Kamtib : Bukan gelandangan?
070. Nini : Bukan.
071. Kamtib : Benar?
072. Nini : Benar.
073. Kamtib : Kamu benar anaknya Ibu ini?
074. Lugu : Bb, bb, bukan, eh … Benar! Bb, benar Pak …
075. Kamtib : Kenapa ngemis? Kenapa menggelandang?
076. Lugu : Saya ini bukan ngemis! Saya bukan gelandangan?
077. Kamtib : Yo wis sekarepmu. Ya sudah Bu … Saya percaya pada
Ibu. Sekarang, anak ini dibawa pulang saja. Nongkrong di pinggir jalan seperti
itu merusak pemandangan. Mengganggu ketertiban. Sudah … Permisi. Selamat siang.
Kamtib keluar panggung.
Nini mendekati Lugu.
Lugu masih bingung.
078. Nini : Ini makanlah … Kamu lapar kan?
079. Lugu : Ibu siapa sebenarnya?
080. Nini : Lho … Aku ini ya ibumu tho le …
081. Lugu : Bukan! Jelas kamu bukan ibuku! Ibuku ya di kampung sana!
082. Nini : Kamu pikir sekarang ini kita dimana?
083. Lugu : Di kota.
084. Nini : Benar di kota? Bukannya dikampung kita?
085. Lugu : Benar! Eh … Mmm … Ah, bukan! Ini bukan kampungku! Eh, tapi
… Nggg …
086. Nini : Naaa … Kamu ragu kan?
087. Lugu : Tidak …Tapiiii … Ah, tidak! Aku yakin. Ini bukan
kampungku! Dan kamu, bukan ibuku! Sudah … Pergi sana! Kamu itu Cuma orang gila!
088. Nini : Wis? Tetep ngeyel? Jadi aku, ibumu ini kamu
suruh pergi saja? Yo wis. Itu nasi bungkusnya dimakan … Aku pergi
sekarang.
089. Lugu : Eh … Tapi … Tunggu dulu!
Nini berhenti dan berbalik.
090. Lugu : Kalau ini memang kampungku, lantas mana rumahku hayooo?!
091. Nini : Rumah kita dan rumah-rumah tetangga sudah jadi
gedung-gedung megah itu anakku.
092. Lugu : Lha pasar? Pasar Wage?
093. Nini : Kamu lihat supermarket itu? Itulah pasar kita.
094. Lugu : Lha tegal, sawah …?
095. Nini : Yah … Sebutlah itu sekarang : jalan tol.
096. Lugu : Lha yang hilir-mudik di jalan ini? Pasa ngebut
ini …?
097. Nini : Ya, itu pedati kita, gerobak kit, gledheganmu …
098. Lugu : Kampungku jadi macam ini?! O ya, o ya … Bagaimana dengan
lapangan? Jadi apa tempat bocah-bocah berkumpul kalau malam padhang mbulan?
099. Nini : Jadi … Jadi ‘ dufan’ Le …
100. Lugu : Haaa … Tapi … Tapi kan ini semua … Milik kita? Kan kampung
kita?
101. Nini : Sayangnya … Ini semua bukan milik kita.
102. Lugu : Lantas orang-orang kampung pada dimana?
103. Nini : Mereka di gedung-gedung itu … Tapi bukan pemiliknya … Klining
serpis-nya. Mereka di supermarket-supermarket itu … Tapi bukan pemiliknya …
Kuli gudangnya. Mereka di rumah-rumah mewah itu … Tapi bukan pemiliknya … Babu-nya.
Mereka di jalan-jalan itu … Tapi bukan pemiliknya … Kakilimanya. Mereka di
pabrik-parik itu … Tapi bukan pemiliknya …Buruhnya. Mereka dimana-mana … Tapi
tak punya apa-apa … Tak ada tempatnya … Merana …
104. Lugu : Cukup! Cukuuup ! Cukuuuuuuup! Ini gila … Ini gila … Gila!
Aku mau kampungku … Kembalikan kampungku! Kembalikan kampungku! Kampungku !!!
105. Nini : He! Bangun Lugu! Ayo bangun! Kerjanya molor saja !
Bangun!
Lampu mati.
ADEGAN 4
Lagu tema.
Lampu hidup.
Pekarangan depan rumah Aki-Nini.
Bulan masuk panggung, berteriak memanggil
teman-teman.
106. Bulan : Heiii … Teman-temaaan …! Padaaang …! Jembaaar …! Kalangan
…! Ayo kumpuuul …! Malam bulan purnama betapa indahnya …! Jangan di rumah saja
…! Mari kemari …! Bermain bersama di sini …
Dari belakang panggung bersama-sama.
107. Koor : Aduhaaai …! Bulan purnama ooo indahnya …
Padang masuk.
108. Padang : Mana yang lain?
109. Bulan, Padang : Jembaaar …! Kalangaaan!
Jembar masuk.
110. Bulan : Kamu tak bersama Kalangan, Jembar?
111. Jembar : Tidak.
112. Bulan, Padang, Jembar : Kalangaaan …!
Kalangan masuk degan diam-diam lantas berteriak
mengagetkan teman-teman.
113. Kalangan : HEI!!!
114. Bulan, Padang, Jembar : Ora kageeet …Weee!
Semua tertawa.
115. Bulan : Aduuuh … Sedih ya … Aki-Nini sudah setahun ini tiada …
Tiba-tiba aku terkenang-kenang mereka …
116. Padang : Iya. Lagi mereka tak meninggalkan siapa-siapa …
117. Jembar : Dulu saja mereka sudah sepi … Cuma berdua saban hari …
Tak ada anak, cucu apalagi …
118. Kalangan : Tapi tetap ada kita semua … Kita kan sudah jadi
cucu-cucu mereka? Seperti mereka pun sudah jadi kakek-nenek kita …
119. Bulan : Benar. Pokoknya semoga semoga Aki-Nini bahagia
selamanya. Pokoknya kita semua janji tak akan sekali-kali melupakan mereka.
Setuju?
120. Padang, jembar, Kalangan : Setujuuu!
121. Koor : Oh Aki … Oh Nini … Sekali kami janji, pantang Nyulayani.
Swer!
122. Jembar : Katanya rumah itu dibeli sama orang kota ya ?
123. Kalangan : Iya. Belum lama.
124. Bulan : Baik hati juga enggak ya? Seperti Aki-Nini enggak
ya?
125. Padang : Katanya, pemilik baru itu orangnya sombong. Tak kenal
tetangga.
126. Jembar : Dan tak bakal menunggui kita bermain ya …
127. Kalangan : Tak bakal juga mendongengi kita …
128. Jembar : Apalagi berharap keluarnya klenyem
manis-gurih-anget ya …
129. Bulan, Padang, Kalangan : Huuuuu!
130. Padang : Sudah sudah … Ayuk, bermain apa kita sekarang?
Kejar-kejaran? Betengan? Gaprakan? Tebak-tebakan?
131. Jembar : Jilumpet saja. Sembunyi-sembunyian.
132. Bulan, Padang, Kalangan : Setuju … Setuju …
133. Kalangan : Sekarang kita hompimpah …
134. Bulan : Lainnya deh, jangan hompimpah terus …
135. Padang : Terus piye?
136. Jembar : Pingsut? Itu kalo dua orang …
137. Bulan : Gini … Dengar! Gini …
Bulan memperagakan ‘gerak-lagu’ dengan iringan
musik ‘Padhang mbulan’.
(Siapa yang giliran bergerak saat musik berhenti,
dia yang ‘jadi’)
138. Bulan : Jelas enggak?
139. Padang, jembar, Kalangan : Jelas … Jelas …
140. Padang : Yuk atur posisi. Baris.
Anak-anak berbaris menyamping menghadap ke kanan
dan menghitung bersama.
141. Koor : Tu Wa Ga Pat!
Musik.
Ternyata yang ‘jadi’ Bulan.
142. Padang, Jembar, Kalangan : Bulan ‘ jadi’! Bulan ‘jadi’!
143. Jembar : Ayo, tutup mata!
144. Bulan : Kuhitung sampai 20 ya? Satu! Dua …
Bulan menghitung.
Lainnya berlarian mencari tempat sembunyi (keluar
panggung).
145. Bulan : Sepuluh!
Bulan mencari-cari teman-temannya. Terus mencari
… Mencari … Mencari … Sampai lama tak ketemu-ketemu … Mencari … Mencari … Lama
sekali … (keluar masuk panggung). Sampai mencari diantara penonton.
146. Bulan : Padang! Jembar! Kalangan! Jangan jauh-jauh kalian
sembunyi! Oooiii! Kalian tu dimana?
Bulan mencari-cari lagi.
147. Bulan : Oooiii! Kalian mengerjai aku yaaa ?!
Perlahan-lahan ekspresi Bulan mulai berubah. Ia
dijalari semacam campuran antara rasa cemas, gelisah, takut …
148. Bulan : Padang … Jembar … Kalangan … Kalian mbook jangan
keterlaluan … Aku agak-agak merinding ini … Padaaang … Jembaaar … Kalangaaan …
Kalian mbok nongol … Padaaang … Jembaaar … Kalangaaan …
Dipuncak rasa tercekamnya, Bulan lari keluar
panggung. Lampu mati.
ADEGAN 5
Lampu hidup.
Padang masuk panggung, mengambil ‘blocking’ dan
‘pose’ tertentu.
Disusul Jembar. Disusul Kalangan.
Komposisi diam.
Sejurus kemudian Bulan masuk panggung, berjalan
dengan langkah tertahan-tahan.
149. Bulan : He! Padang! Jembar … Kalangan …
Mereka tetap diam.
150. Bulan : Kalian dari mana saja tadi? Kalian sembunyi dimana sih?
Kalian sudah rencana ngerjai aku ya? Awas ya?
Mereka tetap diam.
152. Bulan : He! Kok pada diam?! Padang! Padang …(Suara
melunak).
153. Padang : Aku bukan Padang. Aku PLEIII … STESIEEEN …
Bulan terlonjak mundur.
154. Bulan : Play station?!
Bulan mendekati Jembar.
155. Bulan : Jembar … Heh! Jembar! Jembar …
156. Jembar : Aku bukan Jembar. Aku HENPOOON …
Bulan tambah terlonjak.
157. Bulan : Handpone?!
Bulan mendekati Kalangan.
158. Bulan : Kalangan … Kamu apa lagi? Kalangan …
159. Kalangan : Aku bukan Kalangan. Aku BULDOZERRR …
Bulan bahkan terjengkang.
160. Bulan : Buldoser?!
Plei Stesien, Henpon, Buldozer mulai tertawa
mengikik, lama-lama makin keras dan makin keras sambil berkata-kata secara
menyayat-parau.
161. Dimana Padang, Bulan? Dimana Jembar, Bulan?! Dimana Kalangan Bulan?!
Mereka mulai merengsek, mengerubut Bulan,
menarik-nariknya kesana-kemari.
162. Bulaaan … Bulaaan … Bulaaan … BULAAAN! BULAAAAAN!!!
Sambil meronta-ronta Bulan memekik-mekik
memanggili teman-temannya.
PADANG !!! JEMBAR !!! KALANGAN!!! DI MANA KALIAN TEMAN-TEMANKU
SAYAAANG???!!! PADAAANG!!! JEMBAAAR!!! KALANGAAAN !!!
‘Black Out’. Off Stage’. Aplus. Lampu menyala.
Semua pemain masuk panggung menyanyi dan menari
dengan lagu Padang Bulan.
SELESAI
Penghormatan untuk tanah kelahiran-kampung
halaman, teruntuk adik-adik tersayang, tumbuh-kembang-mekar dalam karya,
melangkah-mengalir sebagai jalan-kali-mu sendiri, ada di kancah bumi, mengoda
bersama berbagai hasrat, impian, cita umat manusia, tanpa sekali-kali lupa
hulunya, tanpa kehilangan sejarahnya, tanpa menyangkali gua garbanya
Jagalan, Februari 2006
Anjinglah
BalasHapusVcm
Ada yang tau biodata ucok klasta?
BalasHapus