SUDAH
Darto
Temala
Para Pelaku:
- Igun
- Yusrina
- Hanafi
- Bu Siti
Pentas
menggambarkan sebuah kebun, halaman belakang gedung perpustakaan suatu SMA. Di
tengah terdapat bangku panjang, tempat duduk yang terbuat dari semen. Bagian
depan sebelah kanan terdapat bak air kecil yang tak ada airnya dan bisa untuk
duduk. Ada beberapa tanaman bunga dan pot bunga ada di situ. Latar belakangnya
gedung perpustakaan.
00.
Yusrina : (sedang tekun membaca buku catatan, belajar. Tas, buku, ada di sisinya
di bangku tersebut. Setelah terdengar bel, beberapa saat berlalu dalam sepi)
1. Igun :
(masuk dari kiri) Sudah lama?
2. Yusrina :
(acuh tak acuh) Sudah!
3. Igun :
(duduk di sampingnya) Tentu saja.
Tadi kau tidak ikut pelajaran yang keenam. (membuka
buku catatan) Pak Hadi tadi juga menanyakan kamu. Lalu, teman-teman
menjawab sekenanya. Kau pulang lantaran sakit perut. (pause) Jam keenam sudah lewat?
4. Yusrina :
(sambil membaca) Sudah!
5. Igun :
Terus terang (pause) Hmmmmmm,
sekarang jam pelajaran ketujuh. Jam kedelapan ulangan Fisika, jadi masih ada
waktu untuk belajar....(melihat jam
tangan) Tiga puluh tujuh menit. Kau sudah belajar tadi malam?
6. Yusrina :
(sambil membaca) Sudah!
7. Igun :
Aku juga tahu, tapi cuma sepintas lalu saja. O, ya, soal-soal minggu kemarin
sudah kau kerjakan?
8. Yusrina :
(sambil membaca) Sudah!
9. Igun :
Semua? (Diam saja) Biasanya kau hanya
mengerjakan empat dari sepuluh soal itu. Itu pun yang mudah saja. Iya, kan? Aku
sendiri paling malas bila berhadapan dengan soal-soal Fisika. (membuka catatannya) Eh, Yus, sudah
nonton “Mighty Man”?
10. Yusrina :
(kesal) Sudah!
11. Igun :
Bagaimana kesannya? Bagus? Aku juga nonton, juga lihat kamu. Kau nonton
dengan...
12. Yusrina :
(cepat memotong) Sudah!
13. Igun :
Asyik ya, nonton duaan!
14. Yusrina :
(kesal) Suuuudaah!
15. Igun :
(menggoda) Kau tidak salah memilih
cowokmacam Agus?
16. Yusrina :
(marah) Sudah! Sudah!
17. Igun :
Dia itu cowok ideal. Gagah lagi. Face-nya
lumayan, tidak terlalu ngepop, juga tidak kampungan.
18. Yusrina :
(marah) Suuuuuuudah! Sudah!
19. Igun :
Apalagi anak pejabat tinggi.
20. Yusrina :
(masih marah) Sudah, sudah, sudah!
21. Igun :
Sudah. Sudah! Sudah! Lagi, ah! Dari tadi sudah melulu. Apa tidak ada kata-kata
lain? Bahasa Indonesia kan banyak perbendaharaan katanya. Sudah, sudah, sudah,
dari tadi sudah, sudah, sudah, melulu. (menggoda)
Jangan begitu. Yus, dia itu benar-benar cakep lho.
22. Yusrina :
(marah) Sudah, ah!
23. Igun :
Sudah! Baru terdengar, apa? Sedang perang Sabil, ya? Jangan, ah! Dia itu cowok
ideal. Sungguh! Cuma sayang. Kau kelihatan masih terlalu kecil. Aku kira kau
belum pantas pacaran macam malam Minggu kemarin itu. Soalnya...
24. Yusrina :
(membanting bukunya) Sudah, sudah,
sudah. Huuuuu...sudah, sudah, sudah. Cerewet terus. (mengambil bukunya kembali) Sudah, aku mau belajar!
25. Igun :
(menirukan) Sudah, sudah, sudah.
Huuuuuu...sudah, sudah, sudah! Cerewet terus. Sudah, aku mau belajar!
26. Yusrina :
(mencibir) Huuuuuhh!
27. Igun :
(menirukan) Huuuuuh!
28. Hanafi :
(masuk dai kanan) Nah, ini. Ini baru
bisa disebut pelajar teladan. Serius juga kelihatannya. (Mendekati Yusrina) Yus, mau ulangan ya?
29. Yusrina :
(sambil membaca) Sudah, sudah, sudah!
30. Hanafi :
Lho, kelewat serius, nih! (duduk diantara
mereka) Sedang yang ini? Aku agak sangsi. Ini belajar atau melamun? Gun!
31. Igun :
(sambil membaca) Sudah, ah. Berisik
saja. Ada orang lagi belajar ini.
32. Hanafi :
Apa? Orang macam kamu belajar? Lantas kebudayaan menyontekmu kau ke mana kan?
33. Igun :
Sori saja, tidak musim sekarang.
34. Hanafi :
Omong kosong! (mengeluarkan sebatang
rokok) Pinjam koreknya.
35. Igun :
Buat apa? Pinjam korek pada orang lagi belajar. Ini baru sepaning, mau ulangan
Fisika, tahu?!
36. Hanafi :
Mau ulangan Fisika saja pakai sepaning segala. Tanya, nih, calon profesor.
Beres!
37. Igun :
Profesor gombal!
38. Hanafi :
Tidak usah menghafal rumus-rumus. Buang waktu dan energi saja. Langsung pada
soal, sekaligus jawaban.
39. Igun :
Hah! Apa kelasmu sudah ulangan?
40. Hanafi :
Sudah!
41. Igun :
Sudah?
42. Hanafi :
Sudah!
43. Igun :
Kapan?
44. Hanafi :
Jumat kemarin.
45. Igun :
Lho! Bukankah Jumat kemarin Pak Asnawi masih opname di rumah sakit?
46. Hanafi :
Ya, tapi Pak Asnawi kan guru tulen! Dia punya segudang soal ulangan sekaligus
jawaban yang sudah jadi. Suatu saat ada ulangan, pakai soal yang itu. Ada
ulangan lagi? Pakai soal yang ini. Dan dia itu bisa saja meminta bantuan guru
lain untuk melaksanakan ulangan. Kemudian di rumah, anak-anaknya bisa jadi
tukang koreksi ulangan yang terpercaya.
47. Igun :
Wah, hebat juga, ya?! Terus apa saja kemarin soal yang keluar?
48. Hanafi :
Bilang saja mau pinjam!
49. Igun :
Ya, sudah. Pinjam soal, sekaligus jawabannya.
50. Hanafi :
Nah, begitu. Aku sebelumnya juga dapat soal dari Heri, dua ce. Di sana lebih
awal lagi ulangannya. Tiga soal dari dia keluar dua. Lumayan, paling tidak
nilai enam puluh sudah dapat dipastikan. Apa tidak seperti menang lotere
rasanya?
51. Igun :
Jadi cuma tiga soal?
52. Hanafi :
Ya! Seandainya kau bisa mendekati salah satu dari anak-anak Pak Asnawi itu,
wah...beres. Bisa dapat bocoran soal yang sudah ada jawabannya. Nah, dengan
begitu pelajaran Fisika itu tidak seperti momok lagi.
53. Igun :
Tapi sulit itu, sebab anak-anaknya sudah kuliah semua. Dan yang sebaya dengan
kita hanya si...siapa itu namanya. (mengingat-ingat)
O, ya, itu yang sekolah di SAA itu. Anita!
54. Hanafi :
Nah, kalau kau bisa menggaet Anita itu, pasti lancar ulangan Fisikamu. Apalagi
dia itu belum punya pacar. Cantik lagi!
55. Igun :
Ah, dia sudah punya pacar.
56. Hanafi :
Sudah?
57. Igun :
Ya. Sudah. Dia kuliah di arsitektur.
58. Hanafi :
Repot, saingan dengan mahasiswa arsitektur. Sekarang masalahnya, kau bisa
menyaingi dia tidak?
59. Igun :
Sudahlah....sekarang mana soal-soal itu.
60. Hanafi :
Jadi kau tak berani bersaing?
61. Igun :
Kurang kerjaan. Cepatlah kau ambilkan soal-soal itu. Atau, malahan tidak kau
bawa?
62. Hanafi :
Bawa. Itu ada di kelas. Kau di sini saja. Aku ambilkan. (keluar ke kanan)
63. Yusrina :
Ada apa, Gun? Kelasnya Hanafi sudah ulangan Fisika?
64. Igun :
(tak acuh, sambil membaca) Sudah!
65. Yusrina :
Kalau begitu, kita bisa pinjam soal kepadanya.
66. Igun :
(sambil membaca) Sudah!
67. Yusrina :
Sudah pinjam?
68. Igun :
(Sambil membaca) Sudah!
69. Yusrina :
Kebetulan sekali, nanti aku bisa pinjam ya.
70. Igun :
(sambil membaca) Sudah!
71. Yusrina :
Boleh?
72. Igun :
(sambil membaca) Sudah, ah!
73. Yusrina :
Tidak boleh?
74. Igun :
(sambil membaca) Sudah, ah!
75. Yusrina :
O! Kalau kau sudah selesai...?
76. Yusrina :
Jangan begitu, Gun. Masak mau main pelit sama wanita.
77. Igun :
(menggeser duduknya ke ujung bangku
tersebut) Sudah! Sudah! Sudah!
78. Yusrina :
(geser ke ujung kiri bangku) Sudah.
Sudah. Sudah. Huuuuh pelitnya tidak pernah reda.
79. Igun :
Sudah, sudah! Aku mau belajar.
80. Yusrina :
Huuuuuuh! Pelit! Aku juga mau belajar, nih. Belajar sendiri. Usaha sendiri.
Tidak seeprti kamu: Kebudayaannya menyontek. Apa itu?
81. Igun :
Siapa bilang menyontek? Aku kan cuma memindahkan catatan ke kertas ulangan. Catatanku
sendiri.
82. Yusrina :
Kemarin, waktu ulangan PMP kau pakai catatanku.
83. Igun :
Ah, itu sih suatu kebetulan saja.
84. Yusrina :
Kalau berulang kali juga suatu kebetulan?
85. Igun :
Suatu kebetulan
86. Yusrina :
Suatu kemalasan!
87. Igun :
Suatu kemalasan?
88. Yusrina :
Kemalasan mencatat, membuat catatan.
89. Igun :
Itu urusan.
90. Yusrina :
Sudah, sudah, sudah! (membaca lagi)
91. Igun :
Sudah, sudah, sudah! (pause) Sudah...hmmmmm
aku juga mau belajar. (membaca)
92. Hanafi : (masuk dari kanan) Seperti patung
semua. (pada Igun) Ini soalnya.
93. Igun :
(sambil membaca) Sudah, sudah, sudah!
94. Hanafi :
Sudah? O! Tidak jadi pinjam?
95. Igun :
Apa? Jadi seratus persen, mana?
96. Hanafi :
Tadi, katanya, sudah.
97. Igun :
O, itu tadi dengan dia? (menunjuk
Yusrina)
98. Hanafi :
Jadi sudah dengan dia?
99. Igun :
Itu tadi urusan saya dengan dia. Sudah, mana soalnya?
100. Hanafi :
Ini: satu, dua, tiga, empat. Empat soal dari dua kelas. Ini soal, dan yang ini
jawabannya.(memberikan soal)
101. Igun :
Bisa dipercaya jawaban ini?
102. Hanafi : Tanggung. Anak FIPA yang mengerjakannya.
103. Igun :
Aduh. Panjang-panjang sekali jawabannya. Semua memakai uraian. Wah, kalau
begini bisa.
104. Hanafi :
Alaaaa...tinggal menyalin saja pakai mengeluh. Apalagi kalau mengerjakan. Cepat
salin saja.
105. Igun :
Ya, ya, ya! (siap menyalin) Terus, kamu tidak kembali ke kelas?
106. Hanafi : Biasa! (duduk
di sebelah kiri Igun) Karena suatu dan lain hal, Bu Siti baru keluar. Entah
ada urusan apa dia. Teman-teman sedang menggambar. Sedang aku? Santai saja. Aku
mau merokok sekarang. (Mengeluarkan
sebatang rokok kretek)
107. Igun :
Rokok biasa itu?
108. Hanafi :
Biasa. Nih lihat!
109. Igun :
Aku curiga, jangan-jangan bukan biasa.
110. Hanafi :
Ganja, begitu maksudmu?
111. Igun :
Coba lihat. (Merebut rokok) Kulit
luarnya memang rokok kretek biasa. Tapi siapa tahu di dalamnya sudah
disisipkan.
112. Hanafi :
Siapa yang menyisipkan?
113. Igun :
Orang yang akan merokok. Bukankah kau
pernah terlibat masalah itu.
114. Hanafi : Ah,
kau mengungkit-ungkit bangkai busuk. Itu kan dulu. Sekarang sudah tidak lagi. Sudah
kapok. Lihat buktinya sekarang nih! (memperlihatkan
tangannya)
115. Igun :
(memeriksa rokok) Baunya kok, seperti
ah...coba saja sulut. (Mengeluarkan korek
api)
116. Hanafi : Eeeeeee...jangan!
117. Igun :
Lho, kenapa? Jadi ini betul...
118. Hanafi :
Aku saja yang menyulutnya. Mana?
119. Igun :
Kau kira aku merokok,ya?
120. Hanafi : Tentu saja.
121. Igun :
Biar dibayar seribu rupiah tak mau aku merokok macam ini. (memberikan rokok itu) Lebih modern sedikit sobat. (mengeluarkan rokok) Pakai rokok macam
ini. Rokok putih buatan luar negeri. Bermutu internasional. Rokok macam ini
rokok kesayangan orang-orang penting di dunia. Entah itu pejabat tinggi, tokoh
politik, bintang Hollywood, dan...
122. Hanafi : Sok! Macam iklan saja.
123. Igun :
Bukan hanya itu, ada soal lain. Dengan rokok putih macam ini lebih sedikit
nikotin yang masuk dan singgah dalam paru-paru.
124. Hanafi :
Seperti omongan guru saja. Modern. Rokok putih buatan luar negeri. Caramu itu
namanya melariskan barang produksi luar negeri.
125. Igun :
Lho? Kok? Sampai di situ?
126. Hanafi : Habis, kau cenderung menggunakan produksi luar
negeri, sih!
127. Igun :
Kalau kau?
128. Hanafi : Aku? Cinta produksi dalam negeri, begitu.
129. Igun :
Karena faktor penghematan?
130. Hanafi : Dengar dulu. Dengan menggunakan barang-barang
produksi kita sendiri, berarti telah membantu memajukan industri dalam negeri.
Paling tidak kita ini menjadi satu di antara konsumen.
131. Igun :
Wah, berangan-angan!
132. Hanafi :
Ini bukan berangan-angan tetapi realita, kenyataan. Contohnya: aku membeli
rokok sebatang. Tentu saja produksi dalam negeri macam ini. Satu hari habis
emapt sampai lima batang. Satu bulan seratus lima puluh batang. Sekarang, jika
dari seratus lima puluh juta manusia Indonesia itu ada yang menjadi konsumen
seperti saya ini ada...hmmmm...sepuluh juta saja. Maka rokok yang keluar dari
perusahaan rokok kita itu dalam satu bulan ada seratus lima puluh kali sepuluh
juta. Bayangkan, itu kan namanya sudah memajukan industri dalam negeri.
133. Igun :
Wah, hebat juga. Ternyata otakmu sempat
juga berpikir macam itu.
134. Hanafi : Bukan hasil otakku.
135. Igun :
Lantas?
136. Hanafi : Dari koran.
137. Igun :
Huuuuuu! Gombal! (pindah duduk di sebelah
kiri Hanafi) Oke, saya balas. Sesuai dengan uraianmu tadi, berarti
perusahaan rokok itu, sudah membunuh orang yang merokok sebanyak itu.
138. Hanafi : Membunuh? Ini dari koran juga, ya?
139. Igun :
Tunggu dulu. Karena, ini kata dokter: setiap batang rokok dapat mengurangi umur manusia lima menit.
140. Hanafi : Huuuuuu! (pindah
duduk ke sebelah kiri Igun) Dokter juga banyak yang merokok.
141. Igun :
Lho, ini bukan cuma kata dokter, tetapi dari
hasil penyelidikan. (pindah duduk ke
sebelah kiri Hanafi hingga berdekatan dengan Yusrina) Dan dokter itu juga
dari luar negeri. Soal penerapannya terserah. Bagi perokoknya, mau terus? Mau
berhenti? Terserah.
142. Yusrina : (merasa
terganggu) Sudah, sudah, sudah! Berisik saja!
143. Igun : (menirukan) Sudah, sudah, sudah! Berisik saja!
144. Yusrina : (mencibir)
Huh! Tidak mutu! (pindah duduk di bak)
145. Igun : (menirukan)
Huh! Tidak mutu! (pada Hanafi) Jadi
jika kau sebulan habis seratus lima puluh batang, kalau setahun? Seratus lima
puluh kali dua belas, ada seribu delapan ratus batang, bukan? Padahal setiap
batang mengurangi umur lima menit. Jadi, seribu delapan ratus kali lima menit. Sembilan
ribu menit, atau seratus lima puluh jam...atau enam hari. Nah, satu tahun
umurmu dikurangi satu hari. Itu baru setahun. Kalau kau merokok selama tiga
puluh tahun, enam kali tiga puluh hari atau setengah tahn. Sekarang kalau
seperti kaukatakan tadi, orang yang merokok macam kamu ada....
146. Hanafi : Sepuluh
juta.
147. Igun :
Ya, sepuluh juta kali setengah tahun. Lima juta tahun. Berapa abad itu? Lima
puluh ribu abad. Oh, betapa banyaknya. Padahal sekarang baru sampai abad dua
puluh. Oh, betapa sulit membayangkan hal itu. Waktu lima puluh ribu abad hilang
sia-sia lantaran rokok.
148. Hanafi : Tapi perusahaan rokoknya banyak.
149. Igun : Ya, banyak.
150. Hanafi : Lagi pula mereka merokok karena suka.
151. Igun : Ya, suka.
152. Hanafi : Jadi bukan karena terpaksa. Kalau begitu
mereka sendiri yang menghendakinya, bukan karena dipaksa oleh perusahaan rokok.
Karena mereka itu suka.
153. Igun : Mereka itu termasuk kau juga.
154. Hanafi : (terkejut)
Hah? Aku? Ooooo, ya, aku juga merokok. Rokok kretek.
155. Igun :
Secara tidak langsung umurmu juga
dikurangi. Saat kematianmu diajukan oleh rokok. Bagaimana?
156. Hanafi : Kalau aku, malahan lebih suka. Lebih senang.
157. Igun : Lebih senang?
158. Hanafi : Bagini, ya. Kayaknya kakek nenek kita itu
kalau mau mati, eeee...meninggal membutuhkan waktu sekarat.
159. Igun : Waktu sekarat?
160. Hanafi : Maksudku waktu sakit menjelang meninggal. Sebut
saja sekarat. Karena sakit yang satu ini tak dapat disembuhkan oleh dokter
sekalipun. Biasanya berlangsung satu minggu atau satu bulan. Bahkan ada yang
sampai lima tahun lebih. Mereka itu sakit dan tidak dapat pergi dari tempat
tidur. Lalu, itu, entah makan, mandi, buang air, dan lain-lainnya, semuanya di
situ. Siapa yang repot? Abak cucunya bukan? Misalkan orang itu adalah aku
sendiri. Waktu sekaratku umpamanya satu tahun, dan oleh karena rokok diajukan,
itu lebih baik. Tidak usah merepotkan. Tidak usah sekarat. Kan enak? Mati
langsung mati.
161. Igun : Kalau ingin mati langsung mati, tidur saja di
jalan raya atau rel kereta api. Atau terjun dari jembatan.
162. Hanafi : Bunuh diri?
163. Igun : Habis?
164. Hanafi : Terlalu kasar. Lebih baik dengan rokok. Bunuh
diri tapi secara halus. Juga nikmat rasanya. Ya, kan? Tidak usah pakai sekarat
segala macam. Coba saja Pak Asnawi itu. Ia telah tua, sudah sakit-sakitan
terus. Siapa tahu dia sekarang ini dalam masa sekarat.
165. Igun : Iya, ya. Tapi masih nekad cari uang terus,
mengajar terus.
166. Hanafi : Itulah susahnya jadi ayah, harus menanggung
semua beban keluarga.
167. Igun : Katanya dia sudah pensiun, kok masih mengajar
terus?
168. Hanafi : Kalau dia masih mampu, bisa saja jadi guru
honorer, cari uang tambahan. Sudah, mana koreknya, aku mau merokok.
169. Igun : Apa? O, iya, aku juga mau merokok. (menyalakan korek api)
170. Hanafi : (menyulut
rokok) Ah, kau kutip dulu soal itu!
171. Igun : Sebentar. (menyulut
rokok) Merokok sambil menulis juga tidak dilarang bukan? Pelan-pelan saja
nanti toh selesai juga.
172. Hanafi : Han, ada cewek kemari.
173. Hanafi : Mana?
174. Igun : Itu. (menunjuk
ke kiri) Dari utara itu!
175. Hanafi : Cewek gundulmu, itu kan Bu Siti!
176. Igun : Dia itu juga perempuan. Masih single lagi. Apa
tidak boleh disebut cewek.
177. Hanafi : Sialan. (membuang
rokoknya) Harus ke mana aku ini? Buku, Gun. Mana buku?
178. Igun : Buku apa?
179. Hanafi : Pinjam. Pokoknya buku!
180. Igun : Untuk?
181. Hanafi : Alaaaaa cepat. Buku, buku cepat!
182. Igun : (membaca
buku) Ini?
183. Hanafi : (pura-pura
belajar) Nah, begini baru selamat. Sedikit tenang. Kenapa dia lewat di
sini, ya? Bukankah jalan terbaik ke ruang gambar ada di depan?
184. Igun : (sambil
meneliti soal) Barangkali dia mau mampir ke kamar kecil di sana itu, sambil
jalan-jalan melihat kebun.
185. Hanafi : (sambil
membaca) Mungkin juga. Wanita tak pernah lupa kamar kecil. Apa sih yang
dikerjakan di sana?
186. Igun : (sambil
meneliti soal) Mana aku tahu. Aku belum pernah mengintipnya. Mungkin
membetulkan make-upnya, atau roknya, atau...
187. Hanafi : Husssss. Masa samapi di situ?
188. Igun : Sssss! Sudah dekat. (Menyembunyikan rokoknya)
189. Hanafi : (sambil
membaca) Duh, gawat!
190. Bu Siti : (masuk
dari kiri) Hanafi!
191. Hanafi : (gugup)
Ya, Bu. Hmmmmmmm saya...anu...belajar. Belajar mau ulangan.
192. Bu Siti : Memangnya belajar itu kalau akan ada ulangan
saja, ya?
193. Hanafi : Bukan begitu, Bu. Ini mau ulangan Fisika.
194. Bu Siti : Ini pelajaran apa? Sekarang ini?
195. Hanafi : O, iya, pelajaran Ibu. Menggambar!
196. Bu Siti : Sudah, ayo kembali ke kelas. Menggambarmu juga
belum selesai.
197. Bu Siti : Lain kali kalau sedang ditinggal keluar, di
kelas saja, ya.
198. Igun :
(berbisik) Han! Anunya, Han.
199. Hanafi : (berbisik)
Anu apa?
200. Igun : (berbisik)
Anu itu! (menunjuk rokok yang telah
dibuang) Tidak kauambil? Itu tadi.
201. Hanafi : (berbisik)
Ssssst, sudah.
202. Igun : (berbisik)
Nanti kau kecewa sendiri. Katanya mau hemat. Kenapa barang dibuang begitu saja?
203. Hanafi : Sudah. Sudah, ah!
204. Bu Siti : Ada urusan apa lagi, Han?
205. Hanafi : Tidak ada apa-ap, Bu.
206. Bu Siti : (pada
Igun dan Yusrina) Dan kalian?
207. Yusrina : Ulangan Fisika, nanti jam kedelapan.
208. Bu Siti : Terus sekarang?
209. Yusrina : Pelajaran agama, Bu. Agama Islam.
210. Bu Siti : Kamu mangkir, ya?
211. Yusrina : Saya sengaja tidak ikut. Saya Katholik.
212. Bu Siti : (pada Igun) Dan kau?
213. Igun : Saya sudah izin.
214. Bu Siti : Sungguh?
215. Igun : Ya, begitu.
216. Bu Siti : Boleh izin karena belajar sebelum ulangan?
217. Igun : (diam
saja)
218. Bu Siti : Bisa dibuktikan? (Diam) Baik, aku temui Pak Bakdi. (Mau pergi)
219. Igun : E, jangan. Maaf, saya....
220. Bu Siti : Jadi kau belum izin? Mangkir?
221. Igun : Maaf....saya...hmmmm tadi malam tak sempat...
222. Bu Siti : Sudah. Sekarang kemasi bukumu. Selanjutnya
kembali ke kelas. (Pada Hanafi) Kau
juga.
223. Hanafi :
Ya, Bu! (Keluar ke kanan)
224. Bu Siti : Ayo, cepat dikit. (keluar ke kanan)
225. Igun : (pura-pura
sibuk membetulkan sesuatu. Ketika Bu Siti telah berlalu, dia segera mengambil
buku dan sibuk lagi, menyalin soal dari Hanafi)
226. Yusrina : Gun, sudah adap pinjaman soal? (mendekati)
227. Igun : (sambil
menulis) Sudah.
228. Yusrina : Sekalian jawabannya?
229. Igun : (sambil
menulis) Sudah.
230. Yusrina : Gun, aku ikut mengutip ya. Boleh kan?
231. Igun : (sambil
menulis) Sudah.
232. Yusrina : Sudah? O, kalau kau sudah selesai.
233. Igun : (kesal)
Sudah.
234. Yusrina : Tidak boleh? Jangan begitu, Gun. Dengan teman
sekelas harus kompak, dong!
235. Igun : (kesal)
Sudah, sudah, sudah.
236. Yusrina : Sudah. Sudah. Sudah melulu. Dari tadi...sudah,
sudah, sudah. Balas dendam nih, ya? Masa dengan teman wanita sampai begitu.
237. Igun : Sudah, ah! Ribut saja.
238. Yusrina : Ribut saja karena kamu. Pinjam, Gun. Gantian.
Masa dikutip sendiri. Itu kan ada empat soal, pinjam dua saja. Boleh tidak?
Jangan pelit-pelit, ah! Pinjam boleh tidak? Boleh tidak? Ha? Boleh tidak?
239. Igun : (merasa
terganggu) (marah)
Sudaaaaahhhhhhh!
240. Yusrina : Awas! Kujotak kau! Lima puluh ribu abad
kujotak kau. Cowok pelit. Kampungan. Tidak mutu. (duduk di bak) Cuma bisa pinjam saja sudah sok. Apalagi kalau bisa
mengerjakan sendiri. (menekuni bukunya)
241. Igun :
(sambil mengutip dia bersenandung.
Menyanyikan lagu yang tengah populer. Dan sebentar-sebentar melirik Yusrina,
diiringi senyum kemenangan. Tiba-tiba ia berhenti bersenandung, lalu....)
Lho?! Ini dari mana asalnya? Ini, ini, jadi ini. Ah, apa ini; huh lupa
rumusnya. Tak mencatat lagi. Kenapa aku dulu tak mencatat soal macam ini.
Repot. Ini...ini..aduh. (pada Yusrina)
Sebentar, Yus. Mengganggu. (ragu-ragu)
Sebentar!
242. Yusrina : (senyum
kemenangan) Sudah.
243. Igun : Ini. Tanya ini. Cuma sedikit. Ini.
244. Yusrina : (sambil
membaca) Sudah. Sudah!
245. Igun : Jangan begitu, Yus. Masa cuma ditanya saja
tidak mau menjawab. Mentang-mentang situ cakep ya. Dan aku hampir ngganteng.
246. Yusrina : Rayuan gombal.
247. Igun : Eeeeee...saya ini bukan merayu. Jangan salah
tafsir. Cuma mau tanya. Cuma mau tanya. Ini tanya ini. Ini asalnya dari mana?
Dan (memperlihatkan dua soal di depan
Yusrina) ini. Apakah ini...
248. Yusrina : (merebut
kertas soal) Hore! Saya menang. Saya menang. (mengejek) Saudara, sayalah sang pemenang. Saudara tak usah iri
hati atas kemenangan saya. Dan saudara
yang kalah, jangan linglung, ya? Saya menang. Beres. Wowww. Cuma dua soal. Ah,
dua soal juga tidak apa-apa. Lumayan. Tidak perlu belajar. (berkemas-kemas) Lumayan. (melangkah
mau pergi)
249. Igun : Mau ke mana kamu? Itu soal saya. Jangan dibawa
ke mana-mana.
250. Yusrina : Siapa bilang. Kan cuma pinjam dari Hanafi. Ini
dua soal, yang kau bawa dua soal. Sudah adil bukan? Nah, kenapa mesti
ribut-ribut? (mau pergi) Sudah, ya?!
251. Igun : Itu kembalikan dulu.
252. Yusrina : (mencibir)
Huh, mau enak sendiri.
253. Igun : Tidak mau mengembalikan?
254. Yusrina : Tidak.
255. Igun : Mau dipakai menyontek? Awas. Nanti kulaporkan
Pak Asnawi.
256. Yusrina : Apa? Huh. Kau licik. Kau juga akan kulaporkan.
257. Igun : Hah. (kecewa)
Terus apa gunanya saya dapat soal-soal itu?
258. Yusrina : Terserah, itu urusan kamu.
259. Igun : Begini saja, Yus. Kita tak usah berebut
kemenangan saat ini. Kerja sama saja. Kita kutip saja semua ini bersama: kau
dua, aku kutip dua. Lalu nanti kau bawa soal dua, aku dua. Adil kan?
260. Yusrina : (ragu-ragu)
Sungguh?
261. Igun : Sungguh!
262. Yusrina : Bisa dipercaya?
263. Igun : Demi Tuhan.
264. Yusrina : Oke, kenapa tidak sedari tadi? Ayo. (keduanya duduk di bangku berhadap-hadapan,
menyalin soal tersebut)
265. Igun : Kalau setiap ulangan dapat bocoran soal
seperti ini, lumayan ya.
266. Yusrina : (sambil
menulis) Ya.
267. Igun : Besok kalau ulangan goniometri, cari saja soal
di kelas lain. Beres!
268. Yusrina : (kesal)
Ya.
269. Igun : Tidak perlu menghafal semua rumus.
270. Yusrina : (kesal)
Sssst. Sudah. Kerjakan ini dulu.
271. Igun : Kalau kelas kita ulangan lebih awal? Wah
repot. Kita tidak...
272. Yusrina : (kesal)
Sudah, berisik saja. (membelakangi Igun
duduknya) Tidak bisa belajar dengan tenang orang ini.
273. Igun : Lho....bagaimana kamu ini?
274. Yusrina : Sudah. Sudah.
275. Igun : Ini! Tapi pantat kamu jangan begini. Ini
mengganggu. Ini.
276. Yusrina : Jangan ribut terus, ah. Sudah tenang!
277. Igun : Sudah tenang, tapi kamu jangan begini.
Huuuuuu. (balas membelakangi) Tidak
bisa kerja sama orang ini.
278. Yusrina : Kamu yang tak bisa kerja sama.
279. Igun : Aku?
280. Yusrina : Habis kau ribut terus.
281. Igun : Apa kau tidak?
282. Yusrina : Sudah. Sudah. Kerjakan dulu soal itu. Nanti
keburu bel.
283. Igun : (melihat
jam tangan) Waduh hampir bel. (menulis)
284. Yusrina : Nah, makanya.
Sesaat
285. Hanafi : (masuk tergesa-gesa) Wah. Tidah tahu
suasana orang-orang ini. Yus, sudah, Yus. (pada
Igun) Gun, sudah hentikan saja mengutipnya.
286. Igun : Sebentar. Ini belum selesai.
287. Hanafi : Sudah. Diakhiri saja.
288. Igun : Mau kauminta kembali soal ini. Jangan pelit,
ah. Masa baru mulai dicatat sudah diminta kembali.
289. Hanafi : Bukan begitu.
290. Igun : Lalu?
291. Hanafi : Ada berita duka, nih.
292. Igun : Tentang?
293. Hanafi : (sedih) Pak
Asnawi masuk rumah sakit lagi.
294. Igun : Lalu...
295. Yusrina : Bilang saja ulangan Fisika batal. Begitu kan?
296. Hanafi : Ya, tentu saja ulangan Fisika batal.
297. Yusrina : Hore! (gembira)
Selamat. Kebetulan sekali saya belum siap.
298. Igun : Tidak. Tidak mungkin ulangan Fisika batal.
Tidak mungkin.
299. Yusrina : Alaaaahh sok.
300. Igun : Bukankah ulangan tetap berjalan, walaupun
Pak Asnawi opname di rumah sakit. Aku
kira soal penyakit jantung Pak Asnawi yang sering kambuh itu tak ada
hubungannya dengan batal atau tidaknya ulangan Fisika.
301. Hanafi : Tapi ini lain persoalan. Sekarang benar-benar
batal
302. Igun : Bagaimana kau tahu? Kelasmu sekarang pelajaran
menggambar, sedangkan yang mau ulangan Fisika kelasku.
303. Hanafi : Sekarang, semua kelas di sekolah kita ini
pelajarannya ditiadakan.
304. Igun : Siapa bilang?
305. Hanafi : Baru saja ada pengumuman dari Kepala Sekolah.
306. Yusrina : Tidak ada pelajaran? O, betapa menyenangkan.
Bisa pulang lebih awal.
307. Igun : Tidak jadi ulangan? (kecewa) Huuuuh. Lalu apa gunanya aku ribut tentang soal dengan
kamu tadi? Apa gunanya aku dapat soal-soal ini. (mengumpulkan peralatannya)
308. Hanafi : Nah, kalian ikuti aku.
309. Yusrina : Ke mana?
310. Hanafi : Ke halaman depan. Semua siswa dan guru di
sekolah ini berkumpul di sana. Sudah siap berangkat.
311. Yusrina : Sudah siap berangkat? Ah, yang benar saja
berangkat atau pulang?
312. Igun : Akan pergi ke mana mereka/
313. Hanafi : Melayat.
314. Igun : Apa ada yang meninggal?
315. Hanafi : Aku kira sudah dapat menduga sendiri.
316. Igun : (terkejut)
Apa?
317. Hanafi : (sedih)
Sebetulnya kesehatannya sudah agak baik. Tetapi ketika mendengar kabar bahwa
anaknya yang nomer empat ditahan polisi lantaran terlibat narkotik, darah
tinggi lantas kumat. Kemudian penyakit jantungnya kambuh. Segera dibawa ke
rumah sakit. Namun, sesampai di sana....Tuhan keburu memanggilnya. Itulah...dia
tidak dapat ditolong lagi.
318. Igun : Jadi Pak Asnawi sudah....(tak dapat melanjutkan)
319. Hanafi : (sedih) Ya,
sudah.
320. Yusrina : (pada
Igun) Sudah!
321. Igun : (pada
Yusrina) Sudah!
322. Hanafi : (menahan
air mata) Ya, sudah.
323. Yusrina : (pause)
Sudah, sudah, sudah. (mengusap air mata)
Hmmmm...sudah..
324. (mereka
menunduk, berjalan menekuri tanah, meninggalkan kebun itu)
**
Diketik
ulang oleh: Ni Ketut Anis Widhiani