KEBO NYUSU GUDEL
(Naskah lakon satu babak)
Pelaku:
Kakek : Seorang kakek umur 80 tahun yang selalu terbayang-bayang peristiwa masa
lalunya.
Bapak : Seorang
lelaki pekerja kantoran.
Ibu : Ibu rumah tangga.
Anak : Anak berumur 10 tahun.
***
Terdengar
musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu
oranye yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga,
seorang kakek bersantai di kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai
sarung, peci, sambil nembang megatruh.
Megatruh
niki wancine sukma sampun kasebut
saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon
Tembang
megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti
suara demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek panik, mengambil sapu dan membawanya seolah
membawa senapan.
Kakek : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap.
Bangun kalian semua.
Muncul
seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena bangun tidur.
Bapak : Ada apa lagi, kek? Malam-malam begini bikin ribut?
Ibu : Ada apa to, kek?
Kakek : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian
tidak mendengar ada demo. Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus
waspada. (Berlagak seperti komandan) Kalian berjaga di pos sebelah sana.
Biar aku awasi yang sebelah sini (mengambil kursi kecil dan berdiri di
atasnya). Cepaaat!
Anak : Siap, komandan!
Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri
panggung.
Bapak : Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?
Ibu :
Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi
aneh lagi malam ini. Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur.
Lakukan saja. Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.
Kakek : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat militer, jaga dengan
kewaspadaan tingkat tinggi.
Anak : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!
Kakek : Meski aman tetap waspada. Cari gembongnya.
Anak : Siaap.
Kakek : Kasihan anak-anak muda itu. Katanya mereka orang-orang yang intelek. Tapi
lihat, bicaranya seperti tukang becak. (pada penonton) Dengar kalian
semua! Tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Lebih
baik baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih, biar tidak
dimanfaatkan orang. Masak orang intelek ngomongnya seperti robot. Cuma
bisa ngomong: kami butuh makan, turunkan ini, turunkan itu... Kalau cuma ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.
Bapak : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita
mesti istirahat. Hari sudah larut, kek.
Ibu : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot
sendiri.
Kakek : (turun dari kursi, duduk dengan malas)
Kalian ternyata sama saja dengan orang-orang itu. Semua ini bukan karena
salahku. Aku hanya menjelaskan tugas. Semua tugas sudah aku jalankan dengan
baik, mulai dari Operasi Sikat, Operasi Burung Sriti, Operasi Galian Malam.
Semua sudah kujalankan dengan baik. Terus mengapa mereka masih saja
menginginkan aku turun? Mengerti apa mereka dengan situasi ini. Orang-orang
seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.
Ibu : Kakek sudah lelah, lebih baik kakek istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga. (Kakek hanya diam) Percayalah, situasinya di sini bisa kami
atasi.
Kakek : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak
tahu, kalau tugas ini sudah selesai, aku memang berencana pensiun. Ini adalah
operasi terakhirku. Operasi Sapu Jalan ini adalah pengabdian terakhirku pada
negeri ini. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.
Ibu : (kembali seperti menjadi anak buah kakeknya) Kami tidak
berkhianat. Kami tahu apa yang anda butuhkan.
Bapak : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah
menyusahkan, tambah tidak ada gunanya.
Ibu : Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap bapakmu.
Orang yang membuatmu ada di dunia ini.
Bapak : Iya, aku sudah tahu. Tapi aku sangat lelah hari ini. Bujuklah ia
agar segera tidur.
Anak : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.
Kakek : (kembali
bersemangat) Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti
akan merekomendasikan kenaikan pangkat buatmu. Tapi, sayang, aku masih punya
anak buah yang kerjanya lamban. Inilah yang memperburuk citra tentara.
Anak : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?
Bapak : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.
Kakek : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang
memang harus diberi pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja. …
Bapak : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya
harus kerja. Dimas besok juga harus sekolah…
Kakek : Sekolah?! Sekolah tidak jaminan membuat orang bisa berpikir cerdas.
Jangankan berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Apa kau tidak mendengar apa yang
diteriakkan orang-orang sok berpendidikan yang berdemo itu. Semuanya
hanya omongan yang tidak ada pemikirannya. Terlalu dangkal otak mereka. Lihat
orang-orang yang dicat tubuhnya, dijemur sesiangan, dan berteriak ndak karuan
itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni macam apa itu, murahan.
Ibu :
Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?
Bapak : (pada istrinya) Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan
selesaianya. Aku ini sudah capek.
Ibu :
Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik dilayani biar
makin cepat selesai. Aku juga sudah capek, mas.
Bapak : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti
teringat nenek, dan kakek jadi dalang.
Kakek : Hah, benar. Dalang. Wayang.
Bapak : Lho, iya, benar kan. Yang ada dalam ingatannya hanya itu-itu saja: tentara
dan wayang.
Kakek : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu
seni. Seni kok tidak mengandung budi pekerti. Beda kan dengan
wayang yang penuh budi pekerti. Kemari kau Dimas. Kalau kau nanti sudah besar
kau harus menjadi orang yang mengerti budi pekerti.
Anak : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?
Kakek : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Apalagi
setelah melihat anak buahku. Mereka itu hanya bisa membanggakan seragamnya,
hanya bisa sok jagoan. Mereka sering lupa bahwa mereka itu abdi
masyarakat. Yang namanya abdi itu mesti melindungi bukannya sok.
Mengamankan demontrasi mahasiswa saja tidak pecus. Masih saja ada yang mati.
Akhirnya juga yang kena batu. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu menyuguhkan
nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat. (bergaya
dalang) Ooo, langit gumbleger, bumi katon kebak geber… ooo (Anak
mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-wung plak-plak-plak)
Bapak : Kakek, sudah malam, tidak baik kalau teriak-teriak, tidak enak sama
tetangga.
Kakek : Inilah contoh orang yang tidak bisa menghargai seni dan budaya. Kalau
ketahuan ibumu, pasti kamu akan diomeli sampai pagi.
Bapak : (menggrundel) Dasar orang pikun.
Kakek : Lebih baik tidak usah dihiraukan orang macam itu. Ayo kita berkesenian,
kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?
Anak : Siap, pak dalang.
Kakek : Musiiik.
Anak : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung
plak-plak-plak wung-wung-wung…
Kakek : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman
malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo gendingnya masuk!
Ibu :
Minta gending apa pak dalang.
Kakek : Kinanti
Ibu : Anoman mlumpat sampun
prapteng witing nagasari
mulat managandap katinngal
wanodya ju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga keksi
Kakek : Luar biasa. Itulah seni.
Bapak : Hah, aku sudah sangat capek.
(pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak tidur, besok
aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. Trus kita mau makan apa? Aku sudah muak dengan
kondisi ini. (meninggalkan panggung)
Kakek : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak
sopan. Anak tidak ngerti tata krama.
Bapak : Terserah kata kakek.
Kakek : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja
ibunya tahu, pasti dia dirundung kesedihan. Maafkan aku Martha, istriku, aku
tidak bisa menjaga dengan baik anak kita. Tapi kenapa kau mesti pergi begitu
cepat.
Anak : Lho, kakek mengapa bersedih? (kakek hanya diam bersedih)
Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi
nenek, istri kakek.
Ibu :
(bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo,
suamiku, ada apa?
Kakek : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.
Ibu :
Ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan
mengelus rambut anaknya) Jangan terlalu banyak dipikir. Mas harus segera istirahat. Besok harus segera masuk dinas. Katanya
besok ada upacara.
Kakek : Masalah anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau
jadi apa dia nantinya.
Ibu : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak suka kalau mas sedih
terus.
Kakek : Aku merasa aku telah gagal.
Ibu : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas
itu optimis, tidak pesimis begini. (kakek masih diam) Kalau sedih
begini, mas paling suka kalau aku nembang. Bagaimana kalau aku nyanyikan satu
tembang lagi, mas. Dengar ya mas.
Kakek : Terserah kamu.
Ibu :
Caping Gunung
Dhek
jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi
Jarene
wis menang
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali
Ning gunung tak
cadhongi sega jagung
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa
Anak menuju kursi panjang dan tertidur, ketika
mendengar ibunya menembang.
Kakek : Suaramu bagaikan pinus diterpa angin, Martha. Begitu lembut, halus, dan menenangkan. Itulah
kenapa aku selalu mencintaimu. Kaulah satu-satunya perempuan yang bisa
menentramkan hatiku ini.
Ibu : Aduh, mas Jarwo ini berlebihan, jadi malu aku.
Kakek : Ini
tidak berlebihan, Martha. Ini kenyataan. Aku selalu terpaku, diam tidak bisa
apa-apa, kerena telampau terpikat suara dan kecantikanmu.
Ibu : Jika
mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku menghibur. Apa sekarang
mas sudah merasa nyaman?
Kakek : Seperti
perasaan Danareja seandainya lamarannya diterima Sukesi tanpa membedah Sastra
Gendra. Begitulah yang aku rasakan.
Ibu : Mas
bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah suami istri yang tak
terpisahkan. Bagai akar dan tanah.
Kakek : Hmmm,
iya, iya. Hmmm... (seperti berpikir)
Ibu : Benar
kan, mas?
Kakek : Iya,
iya.
Ibu : Lalu
apa yang masih dipikirkan.
Kakek : Aku
sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?
Ibu : Lho
gimana to?
Kakek : Aku
ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?
Ibu : Ya,
ndak tahu, lha wong yang mikir mas kok tanyanya ke aku.
Kakek : Ya,
barangkali saja. Selama ini yang bisa mengerti aku kan cuma kamu.
Ibu : Entahlah.
Kakek : (Kekanak-kanakan) Ahh, kalau kamu
saja tidak tahu apa yang aku pikirkan, pada siapa lagi mesti aku bertanya?
Ibu : (Diam,
berpikir. Meraih Kakek) Mungkin mas memikirkan anak kita, apakah
kalau sudah besar di bisa sesuai dengan harapan kita.
Kakek : (Melihat
Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan
dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa
menjadi orang yang hebat. Tidak. Aku pasti tidak sedang memikirkan anak itu.
Keluarga kita baik-baik saja, teramat baik, tidak ada masalah yang perlu
memeras otak. Kalaupun ada masalah keluarga hanyalah masalah yang teramat
kecil. Dan pikiranku tidak sekecil itu. Aku pasti memikirkan hal yang lebih
besar, lebih penting, lebih... ahhh, tapi apa yang sedang aku pikirkan.
Ibu : Sudahlah,
jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus
menghadiri upacara penghargaan. Nah, kalau kurang istirahat, terus wajah mas
masih kusut, apa mas tidak akan malu.
Kakek : Benar
juga.
Ibu : (Terlihat
senang) Nah, lebih baik istarahat kan?
Kakek : Tapi
kepala ini terus saja kebingungan sendiri.
Ibu : Mungkin
tidur dulu, besok pasti sudah ingat.
Kakek : Kalau
masih tidak ingat?
Ibu : Terserah
mas saja. Tapi pikikirkan sekali lagi, acara besok itu penting!
Kakek : (Kekanak-kanakan)
Aduh, Martha, jangan marah sayang.
Ibu : Aku
tidak marah, mas. Aku cuma memberi saran. Tapi kalau mas tidak mau ya sudah.
Nah, kalau masih loyo seperti ini, apakah Presiden akan merasa bangga memiliki rakyat
sebaik mas.
Kakek : Iya,
benar.
Ibu : Nah,
sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. (Kakek mencoba
berdiri tegap, tetapi kesulitan) Hah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas
sudah capek dan butuh istirahat.
Kakek : Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Kamu sangat mengerti. Betapa
beruntungnya aku mendapatkanmu. Martha, jangan pernah kau meninggalkanku. Aku
bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan.
Ibu : Tidak,
mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia
tertidur di kursi, biar antar ke kamar dulu ya mas.
Kakek : Kau
memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku tercinta. Tapi jangan
terlalu lama aku kau tinggalkan. Segeralah kembali, Martha.
Ibu : Tidak
lama. Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas harus janji setelah ini
langsung istirahat.
Kakek : Tentu,
sayang. Aku janji.
Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari
panggung dengan tersenyum. Kakek termenung sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu
semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.
Kakek : Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!
Ibu
dan anak kembali masuk panggung.
Ibu : Ada apa lagi?
Kakek : Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?
Anak : Dia masih tidur, komandan.
Kakek : Cepat
bangunkan dia.
Ibu : Sersan
Untung masih keluar kota, Komandan.
Kakek : Tidak
mungkin, tidak ada tugas bagi sersan Untung untuk keluar kota. Pasti dia masih
tidur. Kalian baris di sini dengan rapi, awasi situasi. Aku akan bangunkan
sersan Untung. Situasinya sudah genting, tidak ada waktu untuk istirahat.
Kakek keluar panggung. Beberapa saat, masuk lagi
dengan Bapak yang terlihat mengantuk.
Bapak : Ada apa lagi ini. Sudahlah, kek, aku capek, aku butuh istirahat, aku besok
harus kerja.
Kakek : Sekarang kerjanya! Tidak usah menunggu besok. Lihat di sana, kekacauan
terjadi di mana-mana. Dan kamu enak-enakan tidur. Perwira macam apa kamu ini,
hah!
Anak : Komandan,
situasinya makin kacau.
Bapak : Dimas,
diam.
Kakek : Bicara
yang sopan. Apa pantas kamu bicara seperti itu dengan atasanmu. Sebagai hukuman
kau harus push-up satu seri, dan jangan diulangi lagi. Mayor, terus
awasi keadaannya.
Anak : Siap
komandan.
Kakek : (pada
bapak) Ayo, cepat laksanakan. Apa kamu ini tidak pernah diajari sopan
santun. (pada Ibu) Kamu juga, kenapa kamu berani membela orang yang
salah?
Ibu : Tidak,
komandan. Saya tidak berani.
Kakek : Kalian
harus sadar, harus sadar, di sini aku yang menjadi pimpinan kalian. Kalian
harus nurut!
Ibu : Siap.
Kakek : (Pada
Ibu) Kamu ke sana, coba beri mereka pengertian sebisa mungkin. Usahakan
jangan samapi ada bentrokan fisik.
Ibu maju ke depan pangung, seolah-olah membawa Megaphone.
Ibu : Saudara-saudara,
usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik. Semua aspirasi saudara-saudara
pasti kami tampung. Tetap tenang. Kondisi negeri kita sudah kacau, jangan
sampai saudara-saudara menambah kekacauan. Kami di sini sedang mengusahakan
yang terbaik untuk negeri ini.
Kakek : Bagus. Teruskan.
Ibu : Kita semua
tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada perwakilan dari
saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi dengan damai. Percayalah
saudara. Percayalah, kita semua tidak ingin kondisi ini makin runyam.
Anak : Komandan,
gawat komandan! Mereka menyerang.
Kakek : Tetap
bertahan.
Anak : Sulit,
komandan. Mereka semakin mendesak.
Bapak : (Menghampiri
anak, dan berbicara lirih) Sudah! Diam.
Kakek : Segera
berpencar. Cari tempat berlindung. Seraaaaangg! Dor, dor, dor, dor, ahhhhhhhhh,
aku tertembak.
Kakek terjatuh. Anak berlari menghampiri kakek.
Anak : Komandan, apakah komandan baik-baik saja.
Kakek : Teruskan
perjuangan. Jangan hiraukan aku. Ambil alih pimpinan.
Anak : Komandan,
komandan, komandan jangan mati.
Bapak : Ahh,
akhirnya selesai. Malam yang melelahkan.
Ibu : Mas,
jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini dingin.
Anak : (menggoyang-goyang
tubuh kakek) Komandan jangan mati. Komandan, ayo bangun.
Bapak : (Menghampiri
Anak) Dimas, jangan ganggu kakek. Biarkan kakek istirahat. Kamu juga harus
segera tidur.
Dimas berjalan pelan keluar panggung.
Ibu : Kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-ingatannya.
Bapak : Ya
begitulah orang kalau sudah tua. Pikun.
Ibu : Kalau
saja nenek masih ada.
Bapak : Aku
sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya,
mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita
kirim ke panti jompo. Mungkin mereka bisa mengurus lebih baik.
Ibu : Jangan,
mas. Biar akau saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.
Bapak : Tapi
jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.
Ibu : Yang
sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita
istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah caek. Mas
angkat kakek.
Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa
iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke kursi goyang.
Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang
pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang menyorot kursi goyang. Perlahan
lampu biru padam.
Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan
dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang dengan wajah yang lesu dan hanya
memandang.
Lampu pelan-pelan padam.
***
SELESAI
SELAMAT MENIKMATI
SEMOGA BERBAHAGIA
Biodata Penulis:
Nama : Dheny Jatmiko
TTL : Tulungagung, 11 Februari 1982
NIM : 120110330
Fakultas : Ilmu Budaya
Jurusan : Sastra Indonesia
Alamat : Jl. Jaya Baya 5 Bandung, Tulungagung.
HP : 081 931 545 883
Lainnya : Menulis puisi, sedikit cerpen dan esai. Pernah
terpublikasikan di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Surya, Jurnal Aksara,
Majalah Budaya Sagang, Majalah Aksara (kini Imajio), Bangka Post, Riau Post,
Wapada, Surat kabar Priangan, Radio Suara Jerman Deutsche Welle,
Australia-Indonesia Art Aliance (AIAA), Suara Anum Online (Malaysia). Juara
Harapan II Lomba Cipta Puisi Nasional kategori Sagang di Riau 2003. Juara III
Penulisan Puisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional tahun 2006 di Makasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar