WELCOME TO "O-REZ" BLOG

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam Budaya!!!

Wellcome to my blog !
Selamat datang teman-teman pecinta budaya ... Blog ini O-Rez buat untuk memberi sedikit bantuan kepada teman-teman yang sedang membutuhkan naskah-naskah teater, cerpen, maupun monolog. Tak perlu panjang lebar, silahkan nikmati naskah-naskahnya !!!
Semoga berguna !!!

Keep Smiling From O-Rez :)

Label

Kamis, 11 Oktober 2012

KEBO NYUSU GUDEL


KEBO NYUSU GUDEL
(Naskah lakon satu babak)

Pelaku:
Kakek    :  Seorang kakek umur 80 tahun yang selalu terbayang-bayang peristiwa masa lalunya.
Bapak    : Seorang lelaki pekerja kantoran.
Ibu          : Ibu rumah tangga.
Anak      : Anak berumur 10 tahun.
***
Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu oranye yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga, seorang kakek bersantai di kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai sarung, peci, sambil nembang megatruh.
Megatruh

niki wancine sukma sampun kasebut
saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon

Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti suara demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek  panik, mengambil sapu dan membawanya seolah membawa senapan.
Kakek    : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.
Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena  bangun tidur.
Bapak    : Ada apa lagi, kek? Malam-malam begini bikin ribut?
Ibu          : Ada apa to, kek?
Kakek    : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada demo. Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. (Berlagak seperti komandan) Kalian berjaga di pos sebelah sana. Biar aku awasi yang sebelah sini (mengambil kursi kecil dan berdiri di atasnya). Cepaaat!
Anak      : Siap, komandan!
Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri panggung.
Bapak    :  Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?
Ibu          : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini. Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur. Lakukan saja. Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.
Kakek    : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat militer, jaga dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Anak      : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!
Kakek    : Meski aman tetap waspada. Cari gembongnya.
Anak      : Siaap.
Kakek    :  Kasihan anak-anak muda itu. Katanya mereka orang-orang yang intelek. Tapi lihat, bicaranya seperti tukang becak. (pada penonton) Dengar kalian semua! Tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Lebih baik baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih, biar tidak dimanfaatkan orang. Masak orang intelek ngomongnya seperti robot. Cuma bisa ngomong: kami butuh makan, turunkan ini, turunkan itu... Kalau cuma ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.
Bapak    : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti istirahat. Hari sudah larut, kek.
Ibu          : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.
Kakek    : (turun dari kursi, duduk dengan malas) Kalian ternyata sama saja dengan orang-orang itu. Semua ini bukan karena salahku. Aku hanya menjelaskan tugas. Semua tugas sudah aku jalankan dengan baik, mulai dari Operasi Sikat, Operasi Burung Sriti, Operasi Galian Malam. Semua sudah kujalankan dengan baik. Terus mengapa mereka masih saja menginginkan aku turun? Mengerti apa mereka dengan situasi ini. Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.
Ibu          : Kakek sudah lelah, lebih baik kakek istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga. (Kakek hanya diam) Percayalah, situasinya di sini bisa kami atasi.
Kakek    : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini sudah selesai, aku memang berencana pensiun. Ini adalah operasi terakhirku. Operasi Sapu Jalan ini adalah pengabdian terakhirku pada negeri ini. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.
Ibu          : (kembali seperti menjadi anak buah kakeknya) Kami tidak berkhianat. Kami tahu apa yang anda butuhkan.
Bapak    : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah menyusahkan, tambah tidak ada gunanya.
Ibu          : Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap bapakmu. Orang yang membuatmu ada di dunia ini.
Bapak    : Iya, aku sudah tahu. Tapi aku sangat lelah hari ini. Bujuklah ia agar segera tidur.
Anak      : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.
Kakek    : (kembali bersemangat) Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan kenaikan pangkat buatmu. Tapi, sayang, aku masih punya anak buah yang kerjanya lamban. Inilah yang memperburuk citra tentara.
Anak      : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?
Bapak    : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.
Kakek    : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang harus diberi pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja. …
Bapak    : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja. Dimas besok juga harus sekolah…
Kakek    : Sekolah?! Sekolah tidak jaminan membuat orang bisa berpikir cerdas. Jangankan berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Apa kau tidak mendengar apa yang diteriakkan orang-orang sok berpendidikan yang berdemo itu. Semuanya hanya omongan yang tidak ada pemikirannya. Terlalu dangkal otak mereka. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya, dijemur sesiangan, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni macam apa itu, murahan.
Ibu          : Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?
Bapak    : (pada istrinya) Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya. Aku ini sudah capek.
Ibu          : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik dilayani biar makin cepat selesai. Aku juga sudah capek, mas.
Bapak    : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat nenek, dan kakek jadi dalang.
Kakek    : Hah, benar. Dalang. Wayang.
Bapak    : Lho, iya, benar kan. Yang ada dalam ingatannya hanya itu-itu saja: tentara dan wayang.
Kakek    : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu seni. Seni kok tidak mengandung budi pekerti. Beda kan dengan wayang yang penuh budi pekerti. Kemari kau Dimas. Kalau kau nanti sudah besar kau harus menjadi orang yang mengerti budi pekerti.
Anak      : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?
Kakek    : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Apalagi setelah melihat anak buahku. Mereka itu hanya bisa membanggakan seragamnya, hanya bisa sok jagoan. Mereka sering lupa bahwa mereka itu abdi masyarakat. Yang namanya abdi itu mesti melindungi bukannya sok. Mengamankan demontrasi mahasiswa saja tidak pecus. Masih saja ada yang mati. Akhirnya juga yang kena batu. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu menyuguhkan nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat. (bergaya dalang) Ooo, langit gumbleger, bumi katon kebak geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-wung plak-plak-plak)
Bapak    : Kakek, sudah malam, tidak baik kalau teriak-teriak, tidak enak sama tetangga.
Kakek    : Inilah contoh orang yang tidak bisa menghargai seni dan budaya. Kalau ketahuan ibumu, pasti kamu akan diomeli sampai pagi.
Bapak    : (menggrundel) Dasar orang pikun.
Kakek    : Lebih baik tidak usah dihiraukan orang macam itu. Ayo kita berkesenian, kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?
Anak      : Siap, pak dalang.
Kakek    : Musiiik.
Anak      : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung plak-plak-plak wung-wung-wung…
Kakek    : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo gendingnya masuk!
Ibu          : Minta gending apa pak dalang.
Kakek    : Kinanti
Ibu          : Anoman mlumpat sampun
                  prapteng witing nagasari
                  mulat managandap katinngal
                  wanodya ju kuru aking
                  gelung rusak awor kisma
                  ingkang iga-iga keksi

Kakek    :  Luar biasa. Itulah seni.
Bapak    : Hah,  aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. Trus kita mau makan apa? Aku sudah muak dengan kondisi ini. (meninggalkan panggung)
Kakek    : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak sopan. Anak tidak ngerti tata krama.
Bapak    : Terserah kata kakek.
Kakek    : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya tahu, pasti dia dirundung kesedihan. Maafkan aku Martha, istriku, aku tidak bisa menjaga dengan baik anak kita. Tapi kenapa kau mesti pergi begitu cepat.
Anak      : Lho, kakek mengapa bersedih? (kakek hanya diam bersedih)
Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi nenek, istri kakek.
Ibu          : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?
Kakek    : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.
Ibu          : Ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan mengelus rambut anaknya) Jangan terlalu banyak dipikir. Mas harus segera istirahat. Besok harus segera masuk dinas. Katanya besok ada upacara.
Kakek    : Masalah anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi apa dia nantinya.
Ibu          : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak suka kalau mas sedih terus.
Kakek    : Aku merasa aku telah gagal.
Ibu          : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas itu optimis, tidak pesimis begini. (kakek masih diam) Kalau sedih begini, mas paling suka kalau aku nembang. Bagaimana kalau aku nyanyikan satu tembang lagi, mas. Dengar ya mas.
Kakek    : Terserah kamu.
Ibu          : Caping Gunung

Dhek jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali

Ning gunung tak cadhongi sega jagung
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa

Anak  menuju kursi panjang dan tertidur, ketika mendengar ibunya menembang.
Kakek    : Suaramu bagaikan pinus diterpa angin, Martha. Begitu lembut, halus, dan menenangkan. Itulah kenapa aku selalu mencintaimu. Kaulah satu-satunya perempuan yang bisa menentramkan hatiku ini.
Ibu          : Aduh, mas Jarwo ini berlebihan, jadi malu aku.
Kakek    :  Ini tidak berlebihan, Martha. Ini kenyataan. Aku selalu terpaku, diam tidak bisa apa-apa, kerena telampau terpikat suara dan kecantikanmu.
Ibu          :  Jika mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku menghibur. Apa sekarang mas sudah merasa nyaman?
Kakek    :  Seperti perasaan Danareja seandainya lamarannya diterima Sukesi tanpa membedah Sastra Gendra. Begitulah yang aku rasakan.
Ibu          :  Mas bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah suami istri yang tak terpisahkan. Bagai akar dan tanah.
Kakek    :  Hmmm, iya, iya. Hmmm... (seperti berpikir)
Ibu          :  Benar kan, mas?
Kakek    :  Iya, iya.
Ibu          :  Lalu apa yang masih dipikirkan.
Kakek    :  Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?
Ibu          :  Lho gimana to?
Kakek    :  Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?
Ibu          :  Ya, ndak tahu, lha wong yang mikir mas kok tanyanya ke aku.
Kakek    :  Ya, barangkali saja. Selama ini yang bisa mengerti aku kan cuma kamu.
Ibu          :  Entahlah.
Kakek    : (Kekanak-kanakan) Ahh, kalau kamu saja tidak tahu apa yang aku pikirkan, pada siapa lagi mesti aku bertanya?
Ibu          :  (Diam, berpikir. Meraih Kakek) Mungkin mas memikirkan anak kita, apakah kalau sudah besar di bisa sesuai dengan harapan kita.
Kakek    :  (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa menjadi orang yang hebat. Tidak. Aku pasti tidak sedang memikirkan anak itu. Keluarga kita baik-baik saja, teramat baik, tidak ada masalah yang perlu memeras otak. Kalaupun ada masalah keluarga hanyalah masalah yang teramat kecil. Dan pikiranku tidak sekecil itu. Aku pasti memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting, lebih... ahhh, tapi apa yang sedang aku pikirkan.
Ibu          :  Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus menghadiri upacara penghargaan. Nah, kalau kurang istirahat, terus wajah mas masih kusut, apa mas tidak akan malu.
Kakek    :  Benar juga.
Ibu          :  (Terlihat senang) Nah, lebih baik istarahat kan?
Kakek    :  Tapi kepala ini terus saja kebingungan sendiri.
Ibu          :  Mungkin tidur dulu, besok pasti sudah ingat.
Kakek    :  Kalau masih tidak ingat?
Ibu          :  Terserah mas saja. Tapi pikikirkan sekali lagi, acara besok itu penting!
Kakek    :  (Kekanak-kanakan) Aduh, Martha, jangan marah sayang.
Ibu          :  Aku tidak marah, mas. Aku cuma memberi saran. Tapi kalau mas tidak mau ya sudah. Nah, kalau masih loyo seperti ini, apakah Presiden akan merasa bangga memiliki rakyat sebaik mas.
Kakek    :  Iya, benar.
Ibu          :  Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. (Kakek mencoba berdiri tegap, tetapi kesulitan) Hah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas sudah capek dan butuh istirahat.
Kakek    :  Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Kamu sangat mengerti. Betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Martha, jangan pernah kau meninggalkanku. Aku bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan.
Ibu          :  Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia tertidur di kursi, biar antar ke kamar dulu ya mas.
Kakek    :  Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku tercinta. Tapi jangan terlalu lama aku kau tinggalkan. Segeralah kembali, Martha.
Ibu          :  Tidak lama. Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas harus janji setelah ini langsung istirahat.
Kakek    : Tentu, sayang. Aku janji.
Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek termenung sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.
Kakek    :  Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!
Ibu dan anak kembali masuk panggung.
Ibu          :  Ada apa lagi?
Kakek    :  Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?
Anak      :  Dia masih tidur, komandan.
Kakek    :  Cepat bangunkan dia.
Ibu          :  Sersan Untung masih keluar kota, Komandan.
Kakek    :  Tidak mungkin, tidak ada tugas bagi sersan Untung untuk keluar kota. Pasti dia masih tidur. Kalian baris di sini dengan rapi, awasi situasi. Aku akan bangunkan sersan Untung. Situasinya sudah genting, tidak ada waktu untuk istirahat.
Kakek keluar panggung. Beberapa saat, masuk lagi dengan Bapak yang terlihat mengantuk.
Bapak    :  Ada apa lagi ini. Sudahlah, kek, aku capek, aku butuh istirahat, aku besok harus kerja.
Kakek    :  Sekarang kerjanya! Tidak usah menunggu besok. Lihat di sana, kekacauan terjadi di mana-mana. Dan kamu enak-enakan tidur. Perwira macam apa kamu ini, hah!
Anak      :  Komandan, situasinya makin kacau.
Bapak    :  Dimas, diam.
Kakek    :  Bicara yang sopan. Apa pantas kamu bicara seperti itu dengan atasanmu. Sebagai hukuman kau harus push-up satu seri, dan jangan diulangi lagi. Mayor, terus awasi keadaannya.
Anak      :  Siap komandan.
Kakek    :  (pada bapak) Ayo, cepat laksanakan. Apa kamu ini tidak pernah diajari sopan santun. (pada Ibu) Kamu juga, kenapa kamu berani membela orang yang salah?
Ibu          :  Tidak, komandan. Saya tidak berani.
Kakek    :  Kalian harus sadar, harus sadar, di sini aku yang menjadi pimpinan kalian. Kalian harus nurut!
Ibu          :  Siap.
Kakek    :  (Pada Ibu) Kamu ke sana, coba beri mereka pengertian sebisa mungkin. Usahakan jangan samapi ada bentrokan fisik.
Ibu maju ke depan pangung, seolah-olah membawa Megaphone.
Ibu          :  Saudara-saudara, usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik. Semua aspirasi saudara-saudara pasti kami tampung. Tetap tenang. Kondisi negeri kita sudah kacau, jangan sampai saudara-saudara menambah kekacauan. Kami di sini sedang mengusahakan yang terbaik untuk negeri ini.
Kakek    :  Bagus. Teruskan.
Ibu          :  Kita semua tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada perwakilan dari saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi dengan damai. Percayalah saudara. Percayalah, kita semua tidak ingin kondisi ini makin runyam.                  
Anak      :  Komandan, gawat komandan! Mereka menyerang.
Kakek    :  Tetap bertahan.
Anak      :  Sulit, komandan. Mereka semakin mendesak.
Bapak    :  (Menghampiri anak, dan berbicara lirih) Sudah! Diam.
Kakek    :  Segera berpencar. Cari tempat berlindung. Seraaaaangg! Dor, dor, dor, dor, ahhhhhhhhh, aku tertembak.
Kakek terjatuh. Anak berlari menghampiri kakek.
Anak      :  Komandan, apakah komandan baik-baik saja.
Kakek    : Teruskan perjuangan. Jangan hiraukan aku. Ambil alih pimpinan.
Anak      :  Komandan, komandan, komandan jangan mati.
Bapak    :  Ahh, akhirnya selesai. Malam yang melelahkan.
Ibu          :  Mas, jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini dingin.
Anak      :  (menggoyang-goyang tubuh kakek) Komandan jangan mati. Komandan, ayo bangun.
Bapak    :  (Menghampiri Anak) Dimas, jangan ganggu kakek. Biarkan kakek istirahat. Kamu juga harus segera tidur.
Dimas berjalan pelan keluar panggung.
Ibu          :  Kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-ingatannya.
Bapak    :  Ya begitulah orang kalau sudah tua. Pikun.
Ibu          :  Kalau saja nenek masih ada.
Bapak    :  Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya, mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita kirim ke panti jompo. Mungkin mereka bisa mengurus lebih baik.
Ibu          :  Jangan, mas. Biar akau saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.
Bapak    :  Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.
Ibu          :  Yang sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah caek. Mas angkat kakek.
Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke kursi goyang.

Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang menyorot kursi goyang. Perlahan lampu biru padam.

Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang dengan wajah yang lesu dan hanya memandang.

Lampu pelan-pelan padam.

***

SELESAI
SELAMAT MENIKMATI
SEMOGA BERBAHAGIA

Biodata Penulis:

Nama      :  Dheny Jatmiko
TTL        :  Tulungagung, 11 Februari 1982
NIM       :  120110330
Fakultas  :  Ilmu Budaya
Jurusan    :  Sastra Indonesia
Alamat    :  Jl. Jaya Baya 5 Bandung, Tulungagung.
HP          :  081 931 545 883
Lainnya   :  Menulis puisi, sedikit cerpen dan esai. Pernah terpublikasikan di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Surya, Jurnal Aksara, Majalah Budaya Sagang, Majalah Aksara (kini Imajio), Bangka Post, Riau Post, Wapada, Surat kabar Priangan, Radio Suara Jerman Deutsche Welle, Australia-Indonesia Art Aliance (AIAA), Suara Anum Online (Malaysia). Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Nasional kategori Sagang di Riau 2003. Juara III Penulisan Puisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional tahun 2006 di Makasar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar