WELCOME TO "O-REZ" BLOG

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam Budaya!!!

Wellcome to my blog !
Selamat datang teman-teman pecinta budaya ... Blog ini O-Rez buat untuk memberi sedikit bantuan kepada teman-teman yang sedang membutuhkan naskah-naskah teater, cerpen, maupun monolog. Tak perlu panjang lebar, silahkan nikmati naskah-naskahnya !!!
Semoga berguna !!!

Keep Smiling From O-Rez :)

Label

Kamis, 11 Oktober 2012

ORANG TERASING


ORANG TERASING
Ajie Sudharmaji Mukhsin

Para Pelaku:
  1. Istri
  2. Suami

Panggung menggambarkan sebuah kamar yang reot. Di dalamnya terdapat sebuah dipan dan dua buah kursi yang sudah rusak pula. Suasana kemiskinanlah yang tampil di situ.
01.  Istri            : (mengaharp) Banyakkah hasil yang kauterima hari ini?
02.  Suami         : Bah. Kosong sama sekali, seperempat rupiah pun tak dapat, dan kau bagaimana?
03.  Istri            : Ada seorang wanita muda memberi makan kepada kita.  
04.  Suami         : Terima kasih. Moga-moga Tuhan memberkahinya. Apa yang diberikannya?
05.  Istri            : Sepotong roti.
06.  Suami         : Kalau begitu, masih adakah simpanan untuk esok pagi?
07.  Istri            : Masih. Tetapi hanya untuknya.
08.  Suami         : Tak ada yang lain? Ah, maksudku selain dari roti itu?
09.  Istri            : Ada. Sepotong nasihat, supaya jangan membawa anak itu ke luar, karena udara terlalu lembab.
10.  Suami         : Oh, mereka selalu memberikan nasihat. Jangan mengemis. Jangan membawa anak itu ke luar. Kamu orang baik-baik. Padahal aku juga ingin menjelaskan kepada mereka, tapi aku tak berani, aku orang kecil. Dan kalau saja mereka mau memegangi kemudian merasakan detak darahku, pastilah mereka akan tahu...bahwa aku lapar.   
11.  Istri            : Oh, suamiku, kau terlalu lemah. Istirahatlah.
12.  Suami         : Ya, benar. Bisakah kau membikinkan api?
13.  Istri            : Buat apa?
14.  Suami         : (tak memperhatikan) Ada kertas?
15.  Istri            : (mengambil lembaran surat kabar yang usang) Ini.
16.  Suami         : Bagus. Ini bisa menolong malam nanti kalau kedinginan. (membuka surat kabar itu) Surat kabar anu atau entah apa itu namanya, memberitakan bahwa kita adalah bangsa yang berbahagia. (menyalakan korek api)
17.  Istri            : Jangan dihabiskan.
18.  Suami         : Jangan kuatir. Satu ini pun pasti sudah bisa. Oh ya apakah masih ada tembakau di dalam pipaku? Aku jadi ingat seorang polisi yang mengusirku dari trotoar jalan, memberiku segenggam tembakau sambil berkata: “Jangan mengemis!” Itu yang kuperoleh hari ini.  
19.  Istri            : Kasihan. Betapa menderitanya dirimu.
20.  Suami         : (tak memperhatikan) Berjam-jam aku berdiri di lapangan, kala itu orang-orang sedang keluar tuk mendapat uang, aku mengharap untuk disuruh apa saja, misalnya memanggil becak, membersihkan sepatunya, mengeluarkan sepeda motornya, atau disuruh membersihkan mobil-mobil mereka, tetapi sia-sia. Mereka yang keluar dengan perasaan bahagia, berpuluh orang macam kita hanya bisa memperhatikan saja, sambil berkata lapar. Ketika rintik-rintik hujan datang, aku terpaksa menghindari mereka, menghindari mobil, dan orang-orang kaya itu.
21.  Istri            : Tapi apakah kau mempunyai kesalahan padanya?
22.  Suami         : (menggeleng) Tidak. Semua yang terjadi di atas kita adalah nasib. Dan kesalahankukah waktu firma tempatku bekerja tempo hari itu bangkrut? Karena aku yang terlalu jujur?
23.  Istri            : Bukan. Penyakitku itulah yang menyebabkan malapetaka ini, sehingga habis seluruhnya harta kekayaan simpanan kita. Ah, seharusnya aku mati saja. 
24.  Suami         : Dan aku akan kau tinggalkan? Kau tidak akan berbuat semacam....Oh, ya, bagaimana dengan Nyonya Sumarti?
25.  Istri            : Sebenarnya dia pun sangat miskin, seperti kita, tetapi dia bilang, biar dipakainya tempat ini. Dan dia malah berbaik kepada kita, kita diajak belajar membuat bungkus korek api, dan aku pun yakin bahwa aku pun bisa membuatnya. Nanti kita pasti mendapat uang setiap harinya.

26.  Suami         : Berapa banyak?
27.  Istri            : Meskipun cuma seratus rupiah seharinya.
28.  Suami         : Seratus rupiah setiap harinya sudah cukup besar untuk kita.
29.  Istri            : Sebenarnya tidak seratus persis, karena kita harus mencari bahan sendiri.
30.  Suami         : Haruskah begitu? Ah, kukira tinggal mengerjakan begitu saja. Tapi baiklah. Mungkin baru kali ini terjadi padaku, seorang yang bertahun-tahun sekolah, bekerja beberapa tahun pula setelah bertemu dengan kemiskinan, dikejar lapar.

31.  Istri            : Suamiku...
32.  Suami         : Ya...
33.  Istri            : Bukankah kita juga sudah berusaha?
34.  Suami         : Ya, dan belum pernah satu pekerjaan pun yang kita tolak, nyatanya tidak ada yang datang. Sekarang secara kebetulan sekali ada pekerjaan yang datang, kenapa harus kita tolak? 
35.  Istri            : Suamiku...
36.  Suami         : Ya, kenapa?
37.  Istri            : (berdiri terduduk)
38.  Suami         : Kenapa?
39.  Istri            : Ini. (memperlihatkan dompet)
40.  Suami         : Dompet?
41.  Istri            : Ya
42.  Suami         : Kau...
43.  Istri            : Aku menemukannya.
44.  Suami         : Menemukan di jalan?
45.  Istri            : Begitu kira-kira jalannya.
46.  Suami         : Jalannya bagaimana?
47.  Istri            : Waktu itu hujan turun, aku bergegas ke stasiun dan berdiri di dekat kios buku sambil menunjukkan gambar-gambar kepada anak-anak kita. Kemudian datanglah seorang wanita tua membeli surat kabar. Waktu mengambil uang di dalam dompet, ditaruhnya dompet itu di dekat tanganku. Bagaimana kejadian selanjutnya? Aku sendiri tidak mengerti, karena tahu-tahu aku telah berada di jalanan kembali...sambil membawa dompet itu.

48.  Suami         : Dompet itu telah kaubawa kabur?
49.  Istri            : Ya
50.  Suami         : Tak seorang pun mengikutimu?
51.  Istri            : Tidak. Dan aku sendiripun tak bisa lari cepat karena menggendong anak itu.
52.  Suami         : Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan ini semua?
53.  Istri            : Tidak ada yang mendorongnya. Wanita tua itu menaruh dompet di dekat jariku. Waktu aku menyentuhnya, dia tak memperhatikan. Setelah dia pergi dan kemudian sadar aku telah berada di jalanan sambil membawa dompet itu.
54.  Suami         : Berapa banyak uang di dalamnya?
55.  Istri            : Aku belum membukanya.
56.  Suami         : Kau sendiri belum membukanya?
57.  Istri            : Belum, aku tak berani.
58.  Suami         : Aku tidak mengira kalau pada akhirnya kita berbuat begini.
59.  Istri            : Kita harus berbuat sesuatu, jika ada kesempatan, kejujuran tidak menolong kita. Kupikir wanita tua itu pasti tidak akan merasa kehilangan karena ia amat kaya. Gelangnya emas, cincinnya pun emas, dan tak mungkin orang lain akan bisa menemukan kita di sini. Dan uang di dalamnya tak mungkin akan berbicara. Kelihatannya berat. Berapa banyak isinya?
60.  Suami         : Ya, berat.
61.  Istri            : Cepat buka.
62.  Suami         : Kenapa kau sendiri tak membukanya?
63.  Istri            : Baru saja terpikir, bagaimana nanti apabila ada orang yang mau memberi kepada kita dengan layak barulah dompet ini kukembalikan kepada pemiliknya.
64.  Suami         : Benar.
65.  Istri            : Kita tidak akan kelaparan seperti sekarang. Kau tak akan batuk sepanjang malam, dan barangkali apabila pakaianmu lebih sempurna kamu akan lebih mudah mencari pekerjaan.  
66.  Suami         : Ya, mereka memang menertawakan aku selama ini.
67.  Istri            : Dan sebenarnya aku pun malu berjalan di jalan besar memakai pakaian seperti ini. 
68.  Suami         : Tapi akhirnya kita terbiasa juga, tapi yang menjadi beban sekarang adalah anak kita.
69.  Istri            : Hati-hati, jangan berteriak keras-keras, nanti anak kita itu terbangun.
70.  Suami         : Mana api? (menerima dan merokok)
71.  Istri            : Kasihan anak itu, dia merasa lapar.
72.  Suami         : Tadi kau bilang sudah makan.
73.  Istri            : Itu jam tiga siang tadi..
74.  Suami         : Ya dan mengapa pula tidak kau...
75.  Istri            : Nanti kita bisa membeli pakaian untuknya.
76.  Suami         : Membelikan anak pencuri?
77.  Istri            : He!

78.  Suami         : Kurang enak didengar, tapi ah persetan. Kita hampir setahun menderita semacam ini, kumal, kurus, lapar, tak ada seorang pun yang peduli. Ayolah kita buka isinya.
79.  Istri            : Ya....ya...., lekas!
80.  Suami         : Ada polisi di jalanan?
81.  Istri            : Jangan berprasangka yang bukan-bukan.
82.  Suami         : Baru kali inilah aku di dalam hidup takut kepada polisi. (ketika akan membuka, suami berlari ke luar)
83.  Istri            : Ai...kenapa kau lakukan itu?
84.  Suami         : Aku sendiri tak tahu.
85.  Istri            : Kau berikan domept itu kepada polisi?
86.  Suami         : Ya.
87.  Istri            : Apa katamu kepada mereka?
88.  Suami         : Kau telah menemukannya?
89.  Istri            : Di mana?
90.  Suami         : Di stasiun, aku katakan pula bahwa aku belum membukanya, dan tempat kita di petak ini.
91.  Istri            : Aku mengira akan dipakainya uang itu untuk dirinya sendiri.
92.  Suami         : Mungkin juga.
93.  Istri            : Kau tolol.
94.  Suami         : Adikku.
95.  Istri            : Dengan kepicikanmu, dengan kejujuranmu apakah yang telah kauperoleh selama ini? Kemiskinan dan kelaparan.
96.  Suami         : Soalnya anak kita, aku tidak mau kalau anak kita disebut anak pencuri.
97.  Istri            : Apakah itu lebih jelek daripada anak jembel seperti ini?
98.  Suami         : Aku kira bagaimanapun juga memang begitu.
99.  Istri            : Kau memilih dia untuk terus kelaparan?
100.          Suami   :  Aku tidak tahu bagaimana mendengar kejadian-kejadian di atas tadi.
101.          Istri      : Kau takut?
102.          Suami   : Aku tak menginginkan kau dimasukkan ke penjara.
103.          Istri      : Aku akan masuk ke liang kubur pengemis.
104.          Suami   : Bagaimana kalau kita menggabung diri?
105.          Istri      : Dengan para pengemis lain?
106.          Suami   : Ya, kenapa tidak? Bagaimanapun akhirnya harus kita alami.
107.          Istri      : Dalam penggabungan itu, mereka akan memisahkan kita.
108.          Suami   : Tapi anak kita pasti akan mendapat jatah makanan.
109.          Istri      : Mereka pasti akan memisahkan kita, seperti yang sudah-sudah. Aku sangat mencintaimu...
110.          Suami   : Kau memaafkan aku kan? Karena aku telah mengembalikan dompet itu?
111.          Istri      : Benar. Rupanya karena kelaparan itulah yang menyebabkan aku tak menguasai diri.
112.          Suami   : Bukan. Bukan kau yang salah, tetapi aku. Aku yang pengecut, aku yang tolol.
113.          Istri      : Suamiku..
114.          Suami   : Kita punya uang di dalam dompet itu, uang yang telah berada di tangan kita, uang yang sangat kita butuhkan...Kau sangat kucintai, tapi ah. Betapa tololnya aku, yang bisa menyenagkan anakku. Tetapi telah kukembalikan karena kejujuranku. Mereka memperlakukan aku seperti anjing, mengapa aku harus memperdulikannya? Kalau ini masuk.    
115.          Istri      : Hhusss. Nanti anak kita terbangun.  
116.          Suami   : (tak mempedulikan) Aku bisa membeli pakaian, bisa meninggalkan kehidupan macam begini.
117.          Istri      : Jangan. Apa artinya itu semua, dan siapa tahu ini hanya cobaan. Kaukatakan juga di mana kita tinggal?
118.          Suami   : Benar. Tetapi besok pagi aku akan segera menyusuri kembali jalan-jalan, setelah batukku kembali datang, agar kematian itu cepat datang...Kenapa tidak sekarang saja mati?
119.          Istri      : Mati?!
120.          Suami   : Ya, karena sudah tidak ada tempat lagi untuk kita...Andai aku jadi mengambil uang itu...
121.          Istri      : Sudah lewat sekarang. Dan aku girang atas tindakanmu, karena nanti apabila kita menghadap Tuhan tangan kita bersih. Dan di hadapan-Nya nanti akan aku katakan bahwa orang sekitar kita tidak mengizinkan kita untuk hidup lebih lama. 
122.          Suami   : Jangan, jangan kita bicara soal kematian. Baiknya kita menunggu saja.
123.          Istri      : Kau pernah berpikir demikian pula.
124.          Suami   : Berpikir demikian? Jangan. Itu pikiran jelek. Yah, sebaiknya kita berpikir saja, bagaimana kita besok kembali berjalan menyelusuri jalan itu lagi.
125.          Istri      : Apa? Kita berjalan lagi?
126.          Suami   : Benar. Dan bagaimana caranya supaya besok kita dapat rezeki?
127.          Istri      : Kita sudah tidak punya kawan lagi.
128.          Suami   : Semoga aku besok bertemu dengan seorang kawan yang pernah mengenalku.
129.          Istri      : Kau juga pernah bertemu dengan kawan-kawanmu, tetapi jika kau memanggilnya...., mereka selalu menghindar.
130.          Suami   :  Aneh, memang. Aku tak pernah menginginkan yang lebih bagus, kecuali sekedar makan untuk kita ternyata sia-sia. 
131.          Istri      : Nah, sebaiknya kita mati saja, di mana kita bisa tidur nyenyak, kau tanpa batuk-batuk, dan Tuhan pasti akan lebih baik daripada orang-orang di sekitar ini.
132.          Suami   : Jangan kau ucapakan itu.
133.          Istri      : Aku sudah tidak tahan lagi. Tidak kuat.
134.          Suami   : Hai! (Memegangi tangan istrinya)
135.          Istri      : Aku sangat bergembira, kita akan mati bersama-sama...
136.          Suami   : Tidak! Tidak. Kita tidak boleh kalah dengan kemiskinan. Sebaiknya kita bergabung saja dengan teman-teman orang miskin.
137.          Istri      : Bukankah kau pernah memasukinya?
138.          Suami   : Benar.
139.          Istri      : Kau pernah memperhatikan bagaimana mereka mencibirkan bibir terhadap kita yang terlalu jujur? Sekarang kita akan masuk kesana.
140.          Suami   : Bukankah hal ini justru akan lebih baik? 
141.          Istri      : Aku tidak mau, selama ini aku telah berusaha menjaid istri yang baik, ibu yang baik, dan yang lebih utama lagi aku mencintaimu. Meskipun kita telah berantakan, tetapi aku tidak berpisah dengan kau, dan juga anak kita.
142.          Suami   : Ini usaha kita yang terakhir. Kalau toh mereka mau membunuh, biar bunuh aku, jangan anak istriku. (Suara tangis bayi dari dalam, hingga membuat terkejut keduanya. Si istri masuk)
143.          Suami   : Beginilah....kemiskinan-kemiskinan. Di tempat orang kaya diusir dan di tempat orang miskin pun diusir. (diam lama) Beginilah nasib. Orang miskin pengemis yang jujur, di mana-mana diasingkan. Mereka tidak mempercayaiku lagi. Mereka membenciku, senantiasa aku diusir, di kandang orang miskin yang sejawat maupun di gedung-gedung mewah milik orang kaya.



**

Diketik ulang oleh: Ni Ketut Anis Widhiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar