MALING
Puntung C.M Pudjadi
Para Pelaku:
- L (lurah)
- J (Jagabaya)
- C (Carik)
- W (Wongsokariyo)
Pentas menggambarkan sebuah pendapa
kelurahan. Malam hari itu Lurah sedang berbincang-bincang dengan Jagabaya dan
Carik.
1. L : Saya
mesti tetap memikirkannya, Pak Jagabaya. Sebagai seorang lurah, saya tidak akan
berdiam diri menghadapi persoalan ini.
2. J : Tapi,
maaf, Pak Lurah, saya rasa tindakan Pak Lurah dalam menghadapi persoalan ini
kurang tegas. Maaf, Pak Lurah kurang cak-cek,
kurang cepat.
3. L : Memang, saya sadari saya kurang tegas dalam hal
ini, ini saya sadari betul, Pak Jagabaya. Tapi tindakan saya yang kurang cepat
ini sebetulnya bukan berarti apa-apa. Terus terang dalam menghadapi persoalan
ini saya tidak mau grasa-grusu.
4. J : Memang
tidak perlu grusa-grusu, Pak Lurah. Tapi tidak grusa-grusu bukan pula berarti diam
saja hanya plompang-plompong menunggu
berita. Pak Lurah kan tinggal memberikan perintah atau izin kepada saya untuk
mengerahkan pemuda desa kita untuk mengadakan ronda kampung tiap malam.
5. L : Iya,
saya tahu, Dik, eh, Pak Jagabaya. Tapi dalam saat-saat terakhir ini pemuda desa
kita sedang saya gembleng dalam mendalami kesenian. Pak Jagabaya tahu, dalam
tempo satu bulan lagi Bapak Bupati akan meninjau desa kita. Saya sedang
mempersiapkan pemuda-pemuda desa kita untuk menyambut dengan acara-acara
kesenian. Saya mengerti benar tentang selera Pak Bupati. Dia adalah seorang
pencinta kesenian dan ia akan bangga sekali jika tahu rombongan kesenian yang
menyambutnya adalah pemuda dari desa kita. Kita akan mendapat pujian yang
tinggi dan Pak Bupati akan selalu memperhatikan desa kita.
6. J : Tapi
apa artinya kita dapat pujian Pak Bupati, jika kenyataannya desa kita sendiri
malahan tidak aman? Walaupun Pak Bupati tidak tahu, tapi yang merasakan
terganggunya keamanan adalah penduduk desa kita, rakyat kita sendiri, Pak
Lurah.
7. L : Berapa
banyak penduduk yang menderita kerugian akibat gangguan maling itu? Dan
bandingkan dengan pujian yang bakal kita terima. Bayangkan, Pak Jagabaya,
seluruh penduduk desa kita akan ikut bangga dipuji oleh Bapak Bupati karena
maju dalam dunia kesenian.
8. J : Kalau
Pak Lurah punya cita-cita semacam itu, ya, sudah. Akan lebih baik lagi kalau
semua rakyat di desa ini baik tua-muda, anak laki-laki dan perempuan dilatih
saja karawitan, dilatih ketoprak. Semuanya dilatih kesenian! Jangan cuma
pemuda-pemudanya tok, tapi semuanya, semuanya! Nggak usah mengurusi sawah dan
ladang atau ternak-ternak mereka...Jadikan saja desa ini desa kesenian!
Mau pergi
saking marahnya, tapi dicegah oleh Pak Lurah dan Pak Carik.
9. L : Lho...lho...kok
terus begitu, Pak Jagabaya? Sabar toh, sabar, kalau memang Pak Jagabaya tidak
setuju ya mari kita rembug secara baik-baik. Sekarang duduk dulu, Pak Jagabaya,
mari duduk dulu. Nah, sekarang maunya Pak Jagabaya bagaimana? Coba katakan
dengan sabar. Dik carik mbok coba Dik Carik memberikan pendapatnya! Katakan,
Dik carik bagaimana?
10. C : (gugup) Wah, anu, eh, saya kira usul
dari Mas Jagabaya untuk mengadakan ronda kampung memang perlu juga
sebab...eh...si maling yang tiap malam mengacau itu memang perlu dirondai! Eh,
kita perlu meronda untuk mengatasi nekadnya si maling yang kurang ajar itu.
11. L : Jadi
Pak Carik tidak setuju dengan adanya kegiatan kesenian yang tiap malam
diajarkan di Balai Kelurahan?
12. C : Welah,
ya, setuju banget! Akur saja, Pak Lurah. Tapi memang maling itu nekad banget
kok, Pak Lurah!
13. L : Malingnya nekad bagaimana? Nyatanya
rumah saya belum pernah kemalingan kok, Pak Carik.
14. J :
Malingnya tidak akan mungkin mencuri di rumah Pak Lurah. Karena rumah Pak Lurah
berdekatan dengan Balai Kelurahan yang tiap malam selalu ramai dengan
pemuda-pemuda yang sedang belajar kesenian. Tapi rumah penduduk yang di
pojok-pojok desa itu?
15. C :
Benar, Pak Lurah, rumah Pak Wongso Kariyo yang berada di pojok desa sebelah
selatan ini...wah...hampir setiap malam mosok ada maling masuk. Pak Lurah sudah
mendapat laporan yang lebih jelas bukan?
16. L : Laporan tentang kemalingan di rumah Pak Wongso
Kariyo memang tiap hari saya dengar, Dik Carik. Tetapi secara terperinci belum
saya ketahui. Maklum, Dik Carik, saya terlalu sibuk. Coba seritakan bagaimana.
17. C : Kemalingannya
memang seperti kemalingan yang terjadi di beberapa rumah yang lain, Pak Lurah.
Tapi ini yang saya katakan maling nekad, ya ini. Maling itu memang menjadi
langganan maling di rumah Pak Wongso Kariyo karena setiap malam minggu dia
secara rutin datang dua kali dan sampai-sampai Pak Wongso Kariyo itu hafal
benar dengan maling itu. Pak Wongso Kariyo selalu menyediakan nasi serta lauk
pauknya kalau maling itu datang.
18. L : kenapa Pak Wongso Kariyo tidak melapor pada
Pak Jagabaya?
19. J : Dia sudah melapor pada Pak Jagabaya!
20. L : Kenapa Pak Jagabaya diam saja?
21. J : Edan!
Diam saja atau telinga Pak Lurah yang sudah budeg! Tipa hari saya datang ke
mari. Tiap hari saya ribut dengan Pak Lurah. Tiap hari saya teriak otot-ototan
dengan Pak Lurah tapi Pak Lurah cuma diam saja. Cuma plonga-plongo.
22. L : Lho, meangkap maling toh tidak perlu dengan
pemuda desa. Sebagai seorang Jagabaya, Pak Jagabaya mesti bisa menangkap maling
itu sendiri.
23. J :
Edan! Apakah Pak Lurah tidak pernah dengar kabar bahwa maling itu badannya
tinggi besar?
24. L : Lho, biarpun malingnya tinggi besar apa Pak
Jagabaya tidak bisa menangkap sendiri? Pak Jagabaya kan pernah belajar pencak
di Kelurahan? Pak Jagabaya pernah jadi jagoan pencak di desa ini.
25. J : Tapi...anu...Pak
Lurah kabarnya maling itu bisa main karate dan kungfu.
26. L : Apa
kau kira pencak akan kalah, kalau bertanding dengan karate dan kungfu?
27. J :
Saya tidak mau membuktikan apakah pencak akan kalah dengan karate atau kungfu.
Tapi kalau Pak Lurah mau membuktikan, kami persilakan Pak Lurah sekali-kali
bertanding dengan maling itu.
28. W : (terdengar teriakannya, kemudian muncul
berlari tergesa-gesa; bingung tetapi gembira). Pak Luraaaaahhh.., Pak
Luraaahhh, saya telah membunuh oraaaaang! Pak Lurah, saya telah membunuh orang!
Hebat, Pak Lurah, orang itu bisa saya bunuh.
29. L/J/C : Apa? Kau
telah membunuh orang?
30. W : Edan
saya telah membunuh orang! Edan! Orang itu bisa saya bunuh sendiri, tanpa
bantuan siapapun juga.
31. L :
Tenang! Tenang! Coba ceritakan dengan jelas.
32. W : Edan!
Orang itu berhasil saya bunuh sendiri. Orang itu bisa, saya bunuh sendiri,
edan!
33. L :
Sabar! Sabar! Sabar! Kang! Ada apa?
34. W : Anu,
Pak Lurah, saya telah berhasil membunuh orang. Eh...anu...saya telah membunuh
maling itu.
35. J :
Maling itu kau bunuh?
36. W : Maling
itu telah saya bunuh! Seperti biasanya maling itu datang ke rumah saya sore
ini, tapi saya bukan orang yang bodoh lagi. Sudah sejak siang aku persiapkan
perangkap untuk menangkap maling itu. Siang tadi aku sudah membeli racun tikus.
Dan sore ini waktu maling itu datang seperti biasanya langsung makan malam di
rumah saya. Dia tidak tahu bahwa makanan itu telah saya campuri dengan racun
tikus. Eeee, saya Cuma mengharapkan maling itu klenger. Tapi, malahan mati. Ya,
sudah saya mesti dihukum Pak Polisi, tidak apa-apa. Sebab sekarang saya telah
menjadi orang yang hebat, bisa menangkap maling hingga mati.
37. L :
Jadi maling itu mati?
38. W : Mati,
Pak Lurah! Mati!
39. L : Kenapa
maling itu tidak kaubawa kemari?
40. W : Saya
nggak kuat membawanya sendirian Pak Lurah. Dan untuk meminta bantuan dari
tetangga saya tidak mau, sebab saya tidak berani lancang sebelum Pak Lurah
melihat sendiri siapa maling itu.
41. L : Bawa
kemari maling itu, lekas!
42. W : Tapi
Pak Lurah apa nanti tidak malu?
43. L : Kenapa
mesti malu?
44. W : Karena
maling itu ternyata adalah ...ternyata
adalah adik lelaki Pak Lurah sendiri.
**
Diketik ulang oleh: Ni Ketut Anis
Widhiani
makasih banget membantu :>
BalasHapusMantap, ceritanya lucu!
BalasHapusHAHAHAHA
BalasHapusebuset
BalasHapus