KOTA TAK HENTI BERNYANYI
Karya : Ramatyan Sarjono
PROLOG
Kisah ini terjadi pada
sebuah ruang terbuka, di tengah kota, tempat bertemunya orang-orang dengan
berbagai latar belakang. Barangkali bukan benar-benar bertemu, selain hanya
berada di tempat yang sama dalam waktu yang bersamaan. Mereka; punya alasan
yang tidak harus sama untuk datang, ada yang sekedar melepas lelah, ada yang
mengisi perut karena dirumah tidak ada masakan, ada yang menghibur diri
membuang segala beban pikiran, ada juga yang iseng-iseng mencari pasangan.
Barangkali hanya beberapa orang pedagang makanan, mainan anak-anak, juga
perempuan-perempuan pelacur yang bertujuan mencari rejeki.
Tempat itu; mungkin sebuah
taman kota;
mungkin juga bukan. Bisa jadi, dia hanya sebuah alun-alun, sisa peninggalan
sejarah kota.
Adegan diawali dengan
masuknya beberapa orang pemain ke atas stage; ketika lampu-lampu belum
dinyalakan. Mereka mengambil posisi sedemikian rupa; dengan karakter
berupa-rupa; tercermin dari property yang dibawa dan berada disekitarnya.
Bermula seorang pemain
menyanyikan sebuah tembang, bersamaan waktu dengan sebuah lampu menyorotnya
untuk kemudian kembali padam. Demikian satu persatu pemain menyanyikan tembang
yang sama, secara bergantian.
Syair tembang itu
berbunyi :
IBUKU
DARAHKU
TANAH AIRKU
TAK RELA
KUMELIHAT
KAU SEPERTI ITU
ADA APAKAH ……………… ??????
Setelah semua
pemain melakukan hal yang sama, juga beberapa orang pemain yang naik ke stage
belakangan; akhirnya secara bersama mereka menyanyikan tembang itu; lampu semua
menyala; untuk kemudian padam seiring hilangnya suara pemain.
Stage gelap,
pemain diam, sunyi ……………!
Diam-diam semua
pemain out, kecuali dua orang wanita yang tetap berada di tempatnya. Mereka
adalah seorang penjual jagung bakar dan seorang lagi perempuan lacur, yang
masing-masing tengah bersiap-siap menyambut pelanggan Ada
juga seorang bocah di satu sudut panggung yang tampak sedang membangun rumah –
rumahan dari bonggol jagung.
BLACKOUT
ADEGAN I
Subiah; penjual jagung bakar itu tengah menyalakan
bara pembakaran, sementara Sriwit; si perempuan lacur, duduk diatas gelaran
tikar sembari bersolek mempercantik dirinya dengan lipstik dan bedak murahan
tentunya.
Subiah : (Sesekali
melirik Sriwit, sedikit tersenyum sinis)
Kamu pikir
dengan mempertebal bedakmu, kamu mampu menutupi garis-garis ketuaan di wajahmu,
Sri ? Mbok eling, kamu itu sudah mulai tua, garis-garis keriput diwajahmu itu,
semakin lama semakin tampak nyata !
Sriwit : (Sedikit
menoleh pada Subiah, kemudian melanjutkan aktivitasnya)
Lha gimana
lagi, Mbak, para lelaki itu, para pelangganku itu, selalu menuntut aku untuk
tampil cantik. Dengan apa lagi aku akan kelihatan cantik, kalau tidak dengan
bedak dan gincu ini ?
(Setelah memasukkan semua alat make-upnya ke
dalam tas kecil)
Sampean sih enak, tidak
butuh penampilan, pelanggan Mbak Subi juga nggak pernah menuntut yang
macam-macam, yang penting jagungnya muda, empuk, manis, cukup ditambah saos
sama mentega, enak, gurih, lezaaat..!
Subiah : Makanya,
sudah berapa kali kubilang, kamu mbok cari pekerjaan lain. Apa selamanya kamu akan seperti itu ? Menjadi
pelacur, menjadi budak nafsu laki-laki iseng. Ingat Sri, harkat dan martabat
wanita, tak akan pernah terangkat jika masih ada orang yang melakukan pekerjaan
seperti kamu itu.
Sriwit : Embuh
mbak, aku sudah tidak memikirkan lagi tentang harkat, martabat, harga
diri………………… semua itu hanya omong kosong orang-orang yang katanya pinter, tapi
hidupnya selalu keblinger.
Subiah : Ya
kamu jangan sinis begitu, Sri, jangan pesimis. Jangan skeptis menatap kehidupan
ini !
Sriwit : Walah-walah…………!
Mbak Subi……, ngomongnya tiba-tiba seperti orang – orang pinter itu. Pakai
is…is…….. segala, sinis, skeptis, pesimis, amis amis……..!
Subiah : Lho, bener Sri ! Kita harus bisa memaknai realita,
harus bisa menata hidup kita, diri kita, biar orang lain tidak mencibir, tidak
mencemoohkan kita, meskipun sebenarnya kita bukan apa-apa dan bukan
siapa-siapa. Tapi setidak-tidaknya kalau hidup kita lurus, jujur, nrima ing
pandum, tidak neka-neka..maka……………
Sriwit : Eh…
Mbak….mbak Subi ! Sampean ini kesambet ya ? kesurupan ya ? Kesurupan siapa Mbak
? kesurupan Kanjeng Sunan ? Sunan Siapa Mbak ? Sunan Kali, Sunan Danau, Sunan
Abang atau Sunan Kuning ?
(Berkata begitu Sriwit sembari mendekati Subiah,berusaha memegang jidatnya)
Subiah : (Menghindar dari tangan Sriwit)
Sri ! Kamu ini dibilangi
kok malah nyambet-nyambetke! Nyurup-nyurupke!
Sriwit :
(kembali ke tempat duduknya)
Habis, Mbak Subi ngomongnya
gitu, seperti Kyai atau dukun yang lagi ceramah
Subiah : Ya nggak gitu Sri, maksudku mbok dalam
cari makan, cari rejeki, nggak usah aneh-aneh, jangan lewat jalan-jalan kotor
sepertimu. Lihat aku, meski pun hasilnya sedikit, tapi dimakan enak, di simpan
juga jenak. Coba lihat kamu, berapa
penghasilanmu semalam, tapi apa yang sudah kamu punya sekarang ? Semua uang hasil jerih payahmu, menguap
begitu saja, tidak meninggalkan apa-apa, ya khan ?
Sriwit : Iya
juga sih, mbak ! Semula saya pikir dengan kerja begini, akan cepat mendapatkan
uang yang bisa kukumpulkan buat modal apa kek, buka salon, buka warung, atau
jual jagung sepertimu,…. Tapi kenyataannya, uang hasil kerjaku rasanya tak
pernah betah bila kusimpan. Rasanya kok panas panas gimana gitu lho mbak !
Subiah : Makanya,
aku bilang juga apa, coba kamu renungkan apa yang tadi kukatakan !
Sriwit : Iya
mbak, tapi ……………..
(tiba-tiba anak yang membangun rumah - rumahan – namakan saja kenang
- menyela dengan satu pertanyaan)
Kenang : Mbak, mbak subiah, sekarang sudah jam berapa mbak ?
Subiah : Baru
jam setengah tujuh, masih sore, ada apa sih nang ? mau ada acara ya ?
Kenang : Ah
enggak, cuma tanya saja kok mbak !
(menjawab demikian dia kembali asyik dengan aktivitasnya)
BLACKOUT
ADEGAN II
Seorang
perempuan yg sebenarnya belum terlalu tua, namun penderitaan telah mengubah
wajahnya menjadi tampak lelah. Dipundaknya tergantung sebuah buntalan besar
yang nyata tampak beratnya. Pakaiannya yang kumuh mempertebal citranya sebagai kaum penderita. Sementara di
belakangnya seorang anak perempuan dengan pakaian yang tidak kalah kumalnya.
Beriring mereka melintas di depan subiah dan sriwit. Sesekali si anak
melepaskan pandangannya ke langit.
Anak : Mak,
sepertinya malam ini akan hujan, mak !
Mak : Memangnya
kenapa ?
Anak : Kita
tidur di mana, Mak ?
Mak : Dimana
? kamu bertanya tidur dimana ? bukankah selama ini tempat tak pernah jadi
masalah bagi kita ?
Anak : Iya
Mak, tapi tempat ini akan basah oleh hujan, Mak !
Mak : Akan..!
baru akan ……, kamu sudah ribut begitu !
Anak : Iya
Mak, tapi nanti benar – benar hujan Mak !
Mak : Benar
– benar ? kamu bilang benar – benar ?
Anak : Iya
Mak, benar – benar hujan mak, nanti basah mak !
Mak : Apa
kamu yakin ?
Anak : Yakin
Mak ! yakin …..!
Mak : Kok
kamu bisa yakin ?
Anak : Kan mendung mak,
mendungnya tebal lagi, pasti nanti hujan mak !
Mak : Kamu
yakin ?
Anak : Yakin
mak !
Mak : Benar
– benar yakin ?
Anak : Yakin
Mak ! yakin pasti ! Pasti hujan, mak !
Mak : Kamu
kok bisa memastikan begitu, apa kamu ini Tuhan ?
Anak : Yach
….. Emak, untuk sebuah keyakinan, kepastian, apa harus menjadi Tuhan ? aku kan belajar membaca
tanda – tanda alam, mak !
Mak : Bagus
itu, berarti kamu ini “ngerti sak durunge
winarah”, tahu bakal terjadinya sesuatu sebelum hal itu benar-benar terjadi
!
Anak : (bangga) ya begitulah, mak !
Mak : Dengan
kata lain, kamu punya kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi !
Anak : (semakin bangga) ya……, kira – kira …..
begitulah, mak !
Mak : Bagus,
nanti kasih tahu mak, angka yang bakal keluar malam ini !
Anak : (bingung) Lho…….?
Mak : (sambil pergi – out) Nanti saja ngasih
tahunya, disana, biar nggak didengar orang lain ! Sekarang kita cari tempat
tidur dulu !
Anak : (Semakin bingung) Lho……, lho……, Mak….?
(dalam kebingungannya karena ditinggal sang emak, kenang tiba-tiba
menyela dengan satu pertanyaan )
Kenang : mbak,
mbak, sekarang jam berapa ?
Anak : Nggak
tahu, nggak punya jam ! memangnya ada apa ?
Kenang : Nggak
kok, cuma nanya aja ! (meneruskan
pekerjaannya)
Anak : (jadi semakin bingung) Ooo…..cah
gemblung …..! (out)
BLACK OUT
ADEGAN III
Suara motor mendekat. Musik lembut. Seorang laki – laki, mungkin
pelanggan sriwit, masuk dan mendekati sriwit. Subiah kembali sibuk dengan
dagangannya. Si laki – laki tampak berbicara dengan Sriwit. Mereka berdua duduk
berdampingan, tidak jauh dari dagangan subiah, tapi agak tersembunyi. Beberapa orang
datang membeli jagung baker, sambil menunggu mereka melirik sriwit dan laki –
laki itu. Berbagai ekspresi muncul, ada yang senang, benci, mauak, penasaran,
dsb. Beberapa waktu kemudian sriwit dan laki – laki perg bergandengani. Suara
motor menjauh.
BLACKOUT
ADEGAN IV
Musik lembut tentang cinta. Kenang yang masih asyik
dengan pekerjaannya, tiba – tiba berhenti, memperhatikan hasil pekerjaannya,
bertanya , berteriak, pada subiah
Kenang : Mbak Subiah, sekarang jam berapa ?
Subiah : Jam delapan malam !
Kenang : Jam berapa mbak ?
Subiah : Jam dua puluh lebih empat menit
Kenang : Jam berapa ?
Subiah : Jam dua puluh lebih empat menit !
Saat berikutnya, kenang berdiri dengan selembar kertas
berisi puisi. Ditempatnya berdiri, dia mulai membaca puisi itu dengan
ekspresif. Musik lembut masih mengalun. Seiring dengan itu, orang – orang mulai
lewat di depan jualan subiah, ada yang berpasangan, ada yang berombongan, ada
yang sendiri. Sebagian ada yang menyempatkan diri membeli jagung bakar subiah.
Yang lain hanya lewat sambil bercakap dengan teman seperjalanannya. (Semua
dilakukan dalam gerak tanpa suara. Karena suara yang terdengar hanya suara
puisi kenang dan musik lembut yang tetap mengalir)
Puisi yang dibaca kenang :
KOTA
TAK HENTI BERNYANYI
Tanah lapang
Air kelahiran
Kota tak henti bernyanyi
Nada – nada sumbang
Opera sejarah saling silang
Bertumbuk buram khayal
penantian
Sinar merkuri rakus libas
pesona kunang – kunang
Tanah lapang
Air kelahiran
Hijau rerumput memucat
Bilur wajah berlumur asap
Ludah - ludah membusa
Keringat merupa laut
Caci maki mengkabut
Dada rebah dilindas tumpukan
propaganda
Malam ini, dua puluh lebih
empat
Gemintang tak bergairah
Saksi keringat curah
Bonggol – bonggol membangun
rumah
Dingin trotoar sehangat
ranjang mimpi
Semimpi berpasang muda
Jelajahi lorong surga
Malam ini, dua puluh lebih
empat
Ditanah lapang air kelahiran
Sejarah tak habis cerita
Kisah baru berdesak laju
Pahat hati batu – batu
YU JAGUNG BAKAR DAN YU LONTE ALUN-ALUN
Gelar….gelar…..gelar…..
Tikar-tikar di
gelar
Botol-botol
digelar
Arang-arang
dibakar
Bongkol-bongkol
dibakar
Yu, malam ini
malam minggu
Berapa karung kau
bawa untuk pelangganmu ?
Gelar….gelar…..gelar…..
Paha-paha di gelar
Dada-dada digelar
Hasrat-hasrat dibakar
Nafsu-nafsu
dibakar
Yu, malam ini
malam minggu
Berapa tebal bedak
gincu kau pakai untuk pelangganmu ?
Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan getar
Tidak dengan
gentar
Trotoar ini
milikmu
Alun-alun ini
milikmu
Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan dupa
atau asap kemenyan
Cukup tubuh rentan
menahan dingin malam
Biar terhirup
udara
Kurangkan sesak
jiwa
Ketika rasa
berpacu lari tinggalkan caci dan air mata
Menumpuk ingin
menumpuk angan
Mengejar ingin
mengejar angan
Hanya kepadamu yu,
Ku mampu bertatap.
BLACKOUT
ADEGAN V
Suara puisi menghilang, musik lembut berganti tegang.
Suara seorang perempuan menghentak dari luar panggung. Tampaknya dia begitu
marah, menangis, cenderung putus asa. Kalimatnya jelas mengancam seseorang yang
sangat dibencinya.
Perempuan : Bajingan ! perempuan sundal ! Dasar pelacur !
Lonte ! Apa tidak ada pekerjaan lain, selain mengganggu rumah tangga orang ?
bajingan kamu Sri ! Awas kamu Sri, tak bacok lehermu, biar mampus kamu ! Sri !
Sriwit ! Dimana kamu ? jangan ngumpet Kamu. Ayo tunjukkan batang hdiungmu,
pengecut ! Ayo Sri….! Lonte ! Ayo kesini, biar ku bacok – bacok kamu !
Kamu
juga laki –laki bangsat ! Apa sudah jadi pengecut ? Lihat anak – anakmu ! Anak
– anakmu yang tak pernah kamu perhatikan ! Lihat ! Dasar laki – laki tak
bertanggung jawab. Bisanya cuma cari gendak’an. Mendhing kalau gundikmu
perempuan baik – baik ! bukan pelacur jalanan seperti si sriwit ! Ayo, keluar
kamu ! biar ku bunuh sekalian !
Dengan kemarahan yang meluap – luap, perempuan itu
masuk, dengan sebilah sabit di tangannya, mendekati dasaran Subiah. Dia masih
tetap meracau dengan kalimat – kalimat ancamannya
Perempuan : Sri..! Sriwit.! Ngumpet di mana kamu ? He
Subiah jagung bakar, kamu sembunyikan di mana Sriwit ? Ha ? Jangan coba
melindungi dia ! Nanti kamu ikut jadi korban kemarahanku ! Mana ? Mana Sriwit ?
Subiah : (tetap
tenang, tak terpengaruh dengan kehadiran perempuan itu, tetap asyik dengan
dagangannya)
Yo
embuh ! Memangya aku ibunya Sriwit apa ? kok nanya - nanya aku, apa hubungannya ? Lagian, apa untungnya
aku sembunyikan dia Sriwit ?
Perempuan : Kamu temanya kan ? tempat mangkalnya kan ?
atau kamu induk semangnya, germonya, Sriwit ?
Subiah : Mbak, jangan ngawur ya bicaramu ! memang,
Sriwit memang sering disini. Tapi bukan berarti aku germonya. Tempat ini kan
tempat umum, siapa saja boleh disini. Memang hakku apa melarang dia ?
Perempuan : Ya
kan ? ngaku kan kalau kamu temannya Sriwit?
Subiah : Iya ! Benar ! Sriwit memang temanku ! Tapi apa
salahnya ?
Perempuan :
Apa salahnya? Apa kamu tidak tahu kalau
Sriwit itu pelacur?
Subiah : Memang kalau pelacur kenapa ?
Perempuan : (Karena tidak kuat menahan kemarahan, akhirnya
dia hanya bisa jatuh terduduk sambil menangis)
Suamiku…………suamiku,
mbak !
Subiah : Suamimu itu kenapa ?
Perempuan : (pandangan
menerawang, sambil menangis) Berbulan – bulan dia tidak pulang! Melupakan keluarga,
melupakan anak dan istri. Tidak pernah lagi memberi nafkah. Siapa yang tidak
marah, mbak? Siapa? Setelah saya cari – cari, kabarnya, setiap malam dia selalu
kesini. Dan selalu bersama Sriwit. Coba bayangkan, mbak, bayangkan! Suamiku itu
kerjanya hanya buruh panggul di pasar, hasilnya tak seberapa. Masak selalu
dihabiskan hanya untuk bermain gila dengan pelacur itu. Sudah gitu, masih gila
nomer lagi. Main togel tiap hari. Sementara anak – anak semakin membutuhkan
biaya. Anak kami sudah empat mbak, yang besar baru saja masuk SMP. Dengan apa
aku akan membiayai semua itu, kalau suamiku tidak peduli seperti ini ?
Subiah : (melihat
perempuan itu menangis, dia jatuh kasihan. Dibuatkannya segelas teh)
Ya
sudah, sabar! Diminum dulu tehnya, biar tenang! Nanti kalau kesini, temui dia,
bicarakan baik – baik! Paling sebentar lagi juga datang !
Perempuan : Percuma, mbak! Sudah habis kesabaran saya!
Tidak ada gunanya lagi bicara sama dia !
Subiah : Kita lihat saja nanti, sekarang tehnya diminum
dulu!
Ketika perempuan itu minum
tehnya, sekonyong – konyong sang suami masuk, tanpa menyadari kalau istrinya
ada disitu. Dengan santai dia melenggang, menanyakan Sriwit pada Subiah. Ini
membuat Subiah jadi gugup
Laki – laki : Halo mbak Subiah! Ramaikah daganganmu? Sriwit
mana? sudah datang belum?
Subiah : E…e..e, iya ramai! Sudah…e, belum… e, sudah
…..! (dalam kegugupannya, dia mencoba
memberi tahu dengan isyarat mata )
Laki – laki :
(Belum
menyadari, masih santai, mengambil jajanan subiah) Sudah apa belum? Mana dia sekarang?
Subiah : Itu….! Itu…..! (tangannya menunjuk – nunjuk ke perempuan)
Reflek pandangan laki – laki
mengikuti arah telunjuk subiah. Kaget dia ketika dilihatnya sang istri yang
tampak beringas, dengan sebilah arit di tangannya.
Perempuan : (menahan
amarah) Kang……!
Laki – laki : K…kau…! Kau….?
Perempuan : Iya…..aku, kang !
Laki – laki : Me…..mengapa…..mengapa kamu…. kesini ?
Perempuan : Untuk membunuhmu!
(mengejar sambil mengayun –
ayunkan aritnya. Laki – laki ketakutan, berlari, sembunyi di balik subiah,
terus dikejar, terjadi kejar – kejaran, laki – laki out, terus dikejar
perempuan)
BLACKOUT
ADEGAN VI
Subiah masih ditempatnya,
sibuk dengan dagangannya ketika beberapa orang dengan membawa peralatan masuk.
Satu diantaranya, pimpinannya mungkin, menunjuk – nunjuk tempat dagangan
subiah. Yang lain mengerti! Tanpa bicara, orang – orang itu mulai menyingkirkan
dagangan Subiah. Subiah yang semula hanya emperhatikan, merasa diperlakukan
tidak adil, dia protes. Dikembalikannya dagangannya ke tempat semula. Dipindah
lagi. Dikembalikan lagi. Dipindah lagi. Dikembalikan dengan kesal. Dipindah
dengan marah, dilempar, berserakan !
Subiah : He!
Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan ?
Pimpinan : Kamu
harus pindah dari sini!
Subiah : Memangnya
kenapa?
Pimpinan : Tempat
ini akan digunakan untuk kepentingan umum!
Subiah : Kepentingan
umum? Kepentingan umum apa ?
Pimpinan : Sudah
! Ndak usah banyak tanya !
Subiah : Tidak
! sudah bertahun – tahun saya jualan disini. Tidak, tidak bisa !
Pimpinan : Pindah
! Atau kamu celaka ?
Subiah : Tidak!
Pimpinan : Pindah!
Subiah : Tidak!
Pimpinan : Pindah!
Subiah : Tidak!
Pimpinan : (memberi isyarat pada anak buahnya)
Subiah ditangkap, dibekuk,
diseret keluar. Subiah meronta – ronta, tapi tidak kuasa melawan. Barang –
barang dagangannya diacak – acak orang – orang itu. Berserakan. Kemudian orang
– orang itu membawa masuk sebuah papan besar, dipasang di tempat bekas dagangan
subiah. Sebuah papan yang bertuliskan P A R T A I.
BLACKOUT
EPILOG
Lampu perlahan menyorot papan
PARTAI. Serakan dagangan subiah masih di tempatnya. Sayup – sayup terdengar
lagu IBUKU DARAHKU dari seorang perempuan. Nada suaranya mencerminkan kedukaan.
Sriwit masuk bersama seorang lelaki. Terlihat dari gayanya, mereka sedang
dimabuk asmara. Seiring alunan lagu, mereka berpacaran. Bersenda gurau,
bermesraan. Hingga akhirnya Sriwit menggelar selembar tikar, yang ditinggalkan
subiah, tepat di bawah papan. Berdua mereka duduk disana. Ketika akhirnya
Sriwit berbaring, dan laki – laki mulai membuka pakaiannya, lampu perlahan
padam, lagu mengeras dan THE END.
Demak,
Maret 2004
Dibikin untuk dipentaskan oleh Teater
OASE SMAN 1 Demak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar