WELCOME TO "O-REZ" BLOG

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam Budaya!!!

Wellcome to my blog !
Selamat datang teman-teman pecinta budaya ... Blog ini O-Rez buat untuk memberi sedikit bantuan kepada teman-teman yang sedang membutuhkan naskah-naskah teater, cerpen, maupun monolog. Tak perlu panjang lebar, silahkan nikmati naskah-naskahnya !!!
Semoga berguna !!!

Keep Smiling From O-Rez :)

Label

Kamis, 11 Oktober 2012

PUNG…? PUNG…!


PUNG…? PUNG…!
Bakdi Soemanto

Pentas menunjukkan gambaran di pinggir jalan. Rupanya tempat itu sering dipergunakan sebagi tempat untuk berhenti kendaraab bus, atau colt secara tidak resmi. Entah siapa yang menyediakan, maka di tempat itu ada bangku panjang, di mana para penumpang bisa duduk di situ. Ada hal yang menunjuk kilometer, sebelah kanan dua puluh enam, sebelah kiri empat puluh tujuh.
Waktu lewat tujuh hari, kira-kira pukul tiga. Empat orang pemuda dan dua orang pemudi sedang menanti kendaraan.

1.      Handoyo       : Kenapa kita tidak membawa kendaraan sendiri tadi?
2.      Sarpa            : Kenapa engkau sendiri juga tidak membawa, Tuan Handoyo?
3.      Handoyo       : Witri bilang kita akan naik bus. Sebab...
4.      Sarpa            : Naaaaaaa.
5.      Handoyo       : (menirukan) Naaaaa, naaaaa, bisanya cuma naaaa!
6.      Budi              : (menyambung) Apa sih, ni, kok ada naaaa, naaaa, na.
7.      Witri              : Biasa. Sarpa dan Handoyo, ciri-ciri khasnya ya itu. Naaaaaaa, naaa, na!
8.      Susi               : Betul, Han, kalau ciri-ciri khasmu begitu, naaaaa, naaaaa, naaaa.
9.      Handoyo       : Bukan. Itu ciri khas Sarpa.
10.  Sarpa            : Naaa, belum, belum kan...
11.  Handoyo       : Naaaaa, ya enggak.
12.  Yang lain       : (bersama-sama) Iyaaaa.
13.  Sarpa            : (kepada Handoyo) Tapi kau kan bilang juga. Naaaaa.
14.  Handoyo       : Untuk menunjukkan bahwa engkau yang punya ciri itu, naaa!
15.  Sarpa            : Tapi, bagaimana bisa itu ciriku kalau engkau yang bunyi begitu, naaa! 
16.  Handoyo       : Mudah saja. Aku kan hanya menirukan kau, naaaa.
17.  Sarpa            : Ah, kau ini. Asal ngomong saja, se....
18.  Bersama        : Naaaaaaa! (berhenti dengan cepat begitu mengucap)
19.  Handoyo       : Mudah saja. Aku kan hanya menirukan kau, naaaa.
20.  Bersama        : Naaaaaa!
21.  Sarpa            : Memang punya mulut kenapa nggak boleh ngo..
22.  Bersama        : Naaaaaa.
(mereka tertawa dengan riuh rendah. Tetapi hanya Handoyo dan Sarpa masih sama-sama tegang )
23.  Witri              : Konyol. Begitu saja dibuat kelahi. Kayak nggak ada perkara lain.
24.  Susi               : Berangkali mereka ingin menunjukkan sebagi militan.
25.  Witri              : Kalau mereka memang militan, kenapa tak ada yang berusaha belikan es atau minuman. Panasnya bukan main.
                           (mengipaskan sapu tangan, tangannya merentang dan menghapus keringat di lehe )
26.  Budi              : Di mana belinya?
27.  Kamto           : Di temat begini minta es. Kenapa kita tak membawa tadi?
28.  Sarpa            : Naaaaa, kan malah menyalahkan orang.
29.  Kamto           : Naaaaaa, engkau juga menyalahkan aku!
30.  Sarpa            : Soalnya kau menyalahkan Witri. Padahal, mestinya...
31.  Bersama        : Naaaaa!
(mereka tertawa riuh rendah Sarpa sendiri yang menunjukkan sikap tidak rileks)
32.  Susi               : Jam berapa bus berhenti di sini, Bud?
33.  Budi              : Kata Pak Hajir, tiap setengah jam ada bus atau colt.
34.  Susi               : Wit, kita sudah berapa lama di sini?
35.  Witri              : Sudah sejak jam...
36.  Kamto           : Jam dua. Jadi baru satu jam yang lalu.
37.  Sarpa            : Jadi secara logis, mestinya sudah dua bus atau dua colt berhenti di sini. Dengan asumsi setengah jam ada satu kendaraan.
38.  Handoyo       : Padahal, kenyataan menunjukkan sudah satu jam tidak ada satu bus atau colt pun lewat. Ini tentu ada apa-apa.
39.  Kamto           : Menurut kau, kira-kira ada apa?
40.  Handoyo       : Bagaimana saya tahu, riset belum dilakukan.
41.  Susi               : Kalau nunggu kau riset, baru sebulan kita tiba di rumah.
42.  Handoyo       : Peduli amat. Kalau mau jawaban yang akurat, riset itu penting.
43.  Witri              : Lantas?
44.  Handoyo       : Kita tunggu saja di sini, sampai ada kendaraan.
(semua diam. Suasana sepi. Di antara pemuda-pemuda itu, ada yang bersiul-siul lagu Widuri)
45.  Handoyo       : He, Kamto..
46.  Kamto           : Apa? (Mendekat) Rokok (menawarka rokok)
47.  Handoyo       : (mengambil sebatang, ia menyulutnya) Trims. Dulu kau bilang, bahwa di jalanan ini sering ada....apa itu?
48.  Kamto           : ah, apa itu, pung...
49.  Budi              : Oooooo iya. Itu lho, apa itu anu, punggung!
50.  Sarpa            : Ngawur. Punggung bagaimana? Ini sesuatu yang tabu kalau disebut sembarangan.
51.  Budi              : Lha iya, tabu sih tabu, tapi namanya kan punggung.
52.  Witri              : Tapi bukan pung kok. Kalau tidak salah menurut bapakku, namanya... ping...
53.  Susi               :  Pinggang, ya..betul itu.
54.  Budi              :  Pinggang bagaimana? Bukan. Itu....anu, apa itu, ah pinggul.
55.  Kamto           :  Pokoknya tidak mulai dengan ping, tetapi pung. Soalnya pung itu terus bagaimana mesti dilanjutkan.      
56.  Susi               : Baik. Pung...pung...pung...pung ah, mungkin bukan pung, Kamto. Tetapi bung...kali.
57.  Kamto           :  Kalau bung terus apa?
58.  Witri              :  Gampang. Bungkus!
59.  Sarpa            : Stop! Kita harus tahu jenisnya dulu. Bangsa manusia, hewan, tumbuhan, apa setan, apa apa? Baru kita bisa ingat namanya. Sebab kalau kita tahu pengertiannya, secara metodis mudah namanya.
60.  Kamto           : Pokoknya, pung...itu, sudah duit. Katanya mulutnya itu wah..kaya mulut...apa ya?
61.  Sarpa            : Jenis apa?
62.  Kamto           : Jantan!
63.  Sarpa            : Binatang apa manusia?
64.  Kamto           : Dua-duanya. Baik bersifat binatang maupun manusia.
65.  Sarpa            : Bersayap?
66.  Kamto           : Katanya tidak. Tapi cepat lenyap.
67.  Budi              : Menguap?
68.  Kamto           : Ilang cepet sekali.
69.  Handoyo       : Makhluk apa  sih itu?
70.  Kamto           : Pokoknya bukan makhluk dari dunia ini. Polisi tentara tidak berdaya.
71.  Susi               : Makanannya apa?
72.  Kamto           : Ya seperti kita ini. Nasi, ketela, ikan, ayam. Beefstuk. Es krim, rokok, bir...
73.  Witri              : Pakai baju?
74.  Kamto           : (berbisik)  Seragam.
75.  Budi              : Bawa senjata?
76.  Kamto           : Tergantung di mana operasinya.
77.  Sarpa            : Nanti dulu. Secara situasional, si pung...itu selalu di jalan atau di..
78.  Kamto           : Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh beberapa kelompok studi para remaja itu, yang namanya enath pung atau ping itu bisa di mana saja. Tetapi data menunjukkan bahwa tempat ini sering sekali ada itu.
(Seorang pemuda lain muncul. Ia membawa ransel dan membawa tongkat. Bajunya lusuh dan tubuhnya berkeringat)
79.  Kamto           : Mari, mas, duduk sini.
80.  Pemuda         : Baik terima kasih. Sini saja. (mengipaskan sapu tangan dan menghapus peluh)
81.  Budi              : Mau ke... (tangannya merentang)
82.  Pemuda         : Betul. Saudara juga?
83.  Budi              : Ya. Ini kawan-kawan semua.
84.  Pemuda         : Oooooo. Kenalkan. Saya Punggawa. (mengucapkan hanya Pung yang ditekan)
85.  Kamto           : Saudara Pung...yang di..
86.  Punggawa      : Ya, nama saya Punggawa, saya mahasiswa Sospol. Saya sedang mengadakan riset untuk paper sarjana muda saya.
87.  Bersama        : Oooooo (lega)
88.  Witri              : Kami kira pung yang sering di jalan itu.
89.  Punggawa      : (tersenyum) Saya bukan Pungli, mbak...
90.  Kamto           : Nah, itu dia, Pungli, ya namanya Pungli...(berteriak)
91.  Punggawa      : Nama saya Punggawa dan sedang membuat riset tentang Pungli itu.
92.  Witri              : Punya sayap?
93.  Punggawa      : Tidak.
94.  Kamto           : Tapi cepat hilang bukan?
95.  Punggawa      : Betul.
96.  Susi               : Mas, apakah Pungli itu berbau?
(yang lain tertawa terbahak-bahak)
97.  Punggawa      : Tergantung mandinya berapa kali.
98.  Budi              : Apakah dia mempunyai hidung?
99.  Punggawa      : Punya.
100.    Handoyo    : Matanya biasa?
101.    Punggawa   : Luar biasa tajamnya. Kalau Anda menyimpan uang di mana saja, tahu mereka. 
102.    Sarpa         : Itu fakta atau analisis?
103.    Punggawa   : Fakta.
104.    Sarpa         : Tidak diadakan penggerebekan?
105.    Punggawa   : Sudah.
106.    Witri           : Bagaimana hasilnya? Mati semua?
107.    Punggawa   : Untuk sementara waktu hilang. Tapi...
108.    Susi            : Akan timbul lagi?
109.    Punggawa   : Dari riset saya (membuka tas dan mengeluarkan map) menunjukkan bahwa Pungli itu mempunyai kesamaan nama dengan hama wereng.
110.    Witri           : Kalau begitu sejenis binatang?
111.    Susi            : Sebentar, Susi, biar Mas Punggawa melanjutkan dulu.
112.    Witri           : Sori, mas, gimana terusnya?
113.    Punggawa   : Pokoknya, Pungli itu sebenarnya tidak terlalu sukar diberantas, cuma harus terus menerus. Kalau tidak, begitu terhenti, muncul lagi. Dan kalau muncul lagi, sebagaimana hama wereng, lebih hebat.
114.    Handoyo    : Tiap musim apa biasanya Pungli-Pungli itu muncul?
115.    Punggawa   : Menjelang Lebaran, Natal, Tahun Baru. Dan juga pada hari biasa, di mana banyak mangsa.
116.    Sarpa         : Bisa bicara?
117.    Punggawa   : Tentu!
118.    Sarpa         : Bahasa Indonesia atau bahasa apa?
119.    Punggawa   : Tergantung jenis Pungli apa? Tapi semuanya bisa ngomong Indonesia.
120.    Susi            : Sarangnya di mana?
121.    Punggawa   : Wah, itu belum saya temukan.
122.    Handoyo    : Mas, nanti akan sama-sama kami?
123.    Punggawa   : Maaf, tidak. Saya akan menunggu di sini barang dua tiga jam. Baru saya ke...(menunjuk ke arah yang sama)
124.    Witri           : Menunggu siapa mas?
125.    Susi            : Menunggu pacarnya tentu saja.
126.    Handoyo    : Di mana pacar mas sekarang?
127.    Punggawa   : Tidak! Saya tidak menunggu pacar saya. Tetapi....
128.    Sarpa         : Kelompok mas yang sama-sama riset?
129.    Punggawa   : Tidak. Saya riset sendiri saja. Ini sudah saya siapkan alat potret. Begitu nampak, saya ambil gambarnya, sehingga ada bukti otentik. Dalam ilmu, kalau tidak bisa mencari otoritas, bukti otentik sangat perlu.
130.    Kamto        : Apa yang mau mas potret?  
131.    Punggawa   : Sasaran riset saya.
132.    Witri           : Maksud mas, yang akan dipotret itu..
133.    Punggawa   : Ya, sebentar lagi mereka akan muncul di sini...
134.    Susi            : Maksud mas, yang muncul di sini itu, yang sedang mas selidiki?
135.    Punggawa   : Ya!
136.    Kamto        : Kalau begitu si Pungli?
137.    Punggawa   : Betul!
138.    Handoyo    : Pungli akan nampak di sini?
139.    Punggawa   : Ya, seperempat jam lagi.
140.    Bersama     : (kecuali Punggawa) Seperempat jam lagi? Astaga!
141.    Punggawa   : Betul!
142.    Witri           : Doyan perempuan? Eh, gadis?
143.    Punggawa   : Ya, tingkatan kakap!
144.    Susi            : Maksud mas, pungli itu sebangsa ikan kakap?
145.    Punggawa   : (kepada Susi) Bukan tetapi..
146.    Kamto        : (kepada Susi) Bukan, goblok!
147.    Susi            : Katanya kakap, bagaimana sih?
148.    Punggawa   : Begini saja. Saya merasa lelah sekali. Sudah sejak pagi saya mengincar pungli-pungli itu. Dan sekarang saya ingin istirahat. (ia membuka tas, mengeluarkan plastik lembaran, dan merentangkannya). Bagaimana kalau kita tiduran di sini?  
149.    Witri           : Tetapi sepuluh menit lagi, kau bilang tadi, Pungli akan menampakkan diri bukan?
150.    Punggawa   : Makanya kita tunggu saja.
(yang lain ada yang ikut duduk di plastik lembaran itu. Witri membuka tas yang tercangklong lantas mengeluarkan kembang gula. Ia menawarkan kepada Punggawa. Tetapi Punggawa menolak)
151.    Punggawa   : Terima kasih, saya pantang.
(semua mulai diam)
152.    Punggawa   : Saya ngantuk
153.    Witri           : Kalau dia datang?
154.    Punggawa   : Tolong dipotret saja. Bisa motret?
155.    Witri           : Saya takut.
(Handoyo tertidur)
156.    Punggawa   : Tidak apa-apa.
157.    Susi            : Kalau yang muncul Pungli kakap bagaimana?
158.    Punggawa   : Pungli kakap tidak akan gentayangan sampai jalanan. Pungli kakap di kantor pakai AC. Ngomongnya Inggris atau Belanda.
(Sarpa, Kamto dan Budi tertidur)
159.    Witri           : Mereka tidur. Kurang ajar.
160.    Punggawa   : Biar saja. Kau mau tidur?
161.    Susi            : Tidak. (diam sejenak)
162.    Witri           : Kenapa tidak ada colt sejak tadi?
163.    Susi            : Bisa juga tak ada.
164.    Punggawa   : Kalian tidak tahu? Sini jalan tertutup. Lihat tanda sebelah sana.
165.    Witri           : Kalau begitu tidak ada kendaraan lewat sini?
166.    Punggawa   : Jelas tidak. Kendaraan-kendaraan pada membelok di belokan itu. Atau..
167.    Witri           : Atau bagaimana?
168.    Susi            : Kita ini konyol. Kenapa kita langsung saja menerabas kelokan kecil ini terus kemari, tidak lewat ujung sana sehingga kita tak tahu kalau jalan ini mati?
169.    Punggawa   : Dan di samping itu, Anda di sini tidak boleh. (Punggawa menuding) Na...lihat toh?
170.    Witri           : Ya, itu kendaraan membelok ke sana. (Witri menuding sambil memegar)
171.    Punggawa   : Kita sebenarnya tidak boleh di sini.
172.    Witri, Susi  : O, ya. Kenapa?
173.    Punggawa   : Sebab ini mau dipakai lapangan golf.
174.    Witri           : Benar? (terkejut dan setengah gembira)
175.    Punggawa   : Ya. Tetapi ada pungli dan kita kasih uang dia memperkenankan kita lewat sini. Makanya kalau ada pungli tentu ada kendaraan lewat sini. Sebab jalan ini kan menghubungkan ke desa sana...(menuding) Kalau kendaraan lewat sana, biasanya lama, karena jembatan belum jadi. Kalau lewat sini, nerabas ke sana, bisa cepat. Kalau ada Pungli malah beruntung kalian bisa lekas dapat kendaraan.
176.    Susi            : Witri..
177.    Witri           : Ya. 
178.    Susi            : Ini kan calon lapanganmu?
179.    Punggawa   : Lho?
180.    Susi            : Ya. Calon mertua dia yang mendirikan klub golf dan membuka lapangan ini. Kan namanya...(membisik pada Punggawa)
181.    Punggawa   : Benar?
182.    Witri           : Jangan bilang-bilang lho. Malu ah. Aku juga nggak ngira kalau..
183.    Punggawa   : Dan calon mertuamu yang bakal punya lapangan golf inilah yang memelihara Pungli-Pungli itu.
184.    Susi, Witri  : Masa!
185.    Punggawa   : Lha itu (menuding sambil memegar) Pungli datang.
186.    Susi            : O, ya. (membangunkan keempat kawannya) Bangun!
187.    Punggawa   : Kalau begitu, aku lari saja....sebab...
188.    Witri           : Jangan takut, nanti aku bilang bahwa aku calon menantu bos mereka!
189.    Handoyo, Sarpa, Kamto dan Budi: (setelah terbangun, berkata bersama, sambil terbengong) Bos mereka calon mertuamu, Witri...?
190.    Witri           : Ya!
191.    Susi            : Betul!
192.    Punggawa   : Sungguh!
193.    Handoyo    : (mengucek mata) Kamu mimpi...!
194.    Kamto        : Bangun tidur ya kalian!
195.    Sarpa         : Pikiran terganggu!
196.    Budi           : Tidak beres kalian ini.
(Witri, Susi, dan Punggawa tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal )
197.    Witri, Susi, Punggawa: (bersama) Kalian kan yang tidur?!
198.    Sarpa         : Naaaaaa, jangan menuduh yang nggak-nggak...sebab..
199.    Semua        : (kecuali Sarpa) Naaaaaa, naaaaaa, naaaaa!


Lampu Mati

Diketik ulang oleh: Ni Ketut Anis Widhiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar