SEBELUM SEMBAHYANG
Kecuk Ismadi C.R
Para pelaku:
- Copet I
- Copet II
- Copet III
- Copet IV
- Kiai
- Wanita
Lokasi pada sebuah gang yang sepi
dekat sebuah masjid pada sebuah desa. Terdengar kentongan dan bedug dipukul
orang, lalu disusul suara adzan.
Copet III : Itu suara apa?
Copet II : Suara orang
adzan.
Copet I : Apa?
Suara orang edan?
Copet II : Adzan, Goblok!
Copet I : Apa? (menilingkan kepala)
Copet II : Adzan, tuli?
Copet I : Oh,
orang adzan. Adzan itu apa tho?
Copet III : Adzan itu panggilan untuk menjalankan
sembahyang. Iya kan? Benar kan?
Copet II : Ho-oh!
Copet
I : Adzan! Adzan! Wah baru kali
ini aku dengar istilah itu. Kok, hampir sama, ya? Adzan! Edan!
Copet IV : Husss, dosssaaa! Dosa lho, kamu.
Copet I : Lho, kok dosa? Ini kan fakta! Kata
adzan aku memang jarang mendengar. Lha, kalau kata edan mah itu sering
kudengar. Waktu aku masih di asrama.
Copet III : Wah, gaya! Jadi
kamu pernah tinggal di asrama?
Copet I : Jelas, dong!
Dilihat tampangku kan jelas kelihatan.
Copet IV : Mana, sih
asramamu?
Copet I : Wah asrama saya
sangat ngetop!
Copet II : Lha iya, mana? Di
mana itu?
Copet I : Di...mana, ya? Kalau
tak salah di Pakem.
Copet II, III, IV : Ooooo, Pakem?! Pantas,
pantas. (tertawa)
Copet I : Kenapa kalian
saling tertawa, ha? Kenapa? Ha? Kenapa?
Copet III : Jebulnya pensiunan wong edan! Hahahahhaa bekas orang gila. (saling tertawa) Jebolan rumah sakit jiwa.
Copet I : Siapa yang
pensiunan wong edan?
Copet IV : Lha, ya kamu itu! Lha,
kalau bukan kamu siapa? Saya? Ah, nggak pantas dong. Saya kan cocoknya jadi
presiden.
Copet II : Saya cocoknya
jadi perdana menteri luar negeri.
Copet III : Kalau saya
cocoknya jadi dramawan besar. Seperti Shakespeare, Anton Chekov, Stanislavky
atau paling tidak Rendra.
Copet I : (tersenyum-senyum) Kalau saya.....kalau saya...cocoknya
jadi...jadi...
Copet II : Ya, jadi wong
edan! (semuanya tergelak-gelak)
Copet I : Bangsat! Bangsat!
Bangsat! Kenapa kalian terus tertawa? Sedari tadi kalian mengataiku gila. Sekarang
hilanglah kesabaran saya. Aku tidak terima, aku tidak terima. Ha, kenapa kalian
bengong? Aku marah tahu! Marah!
Copet II : Sungguhan atau
tidak?
Copet I : Sungguh!
Copet II : Wah, awas lho!
Dia marah sungguh, lho.
Copet I : Hayo, maju sini.
Jangan mundur-mundur begitu. Ayo, ayo maju sini. Siapa yang tadi menghinaku,
ha? Kenapa sekarang takut? Ayo sini kerubutlah aku, kalau ingin benjut kepalamu!
Copet IV : Wah, gawat nih.
Dia marah sungguhan. Cilaka kita bakal dihajarnya.
Copet III : Lha kamu sih tadi
mengejek keterlaluan. Kalau jadi begini gimana?
Copet II : Wah lha saya
nggak nyangka kalau dia bakal serius, kok.
Copet I : Ayo, jangan
bisik-bisik melulu. Ayo lawan aku! Saya anak turunan Prabu Menakjingga yang
perkasa. Ayo! Majulah! Ini dia pangeran dari Blambangan. (tiga copet yang lain menjadi semakin katakutan, digertak mereka
semakin mengkeret dan mundur. Ketakutan memuncak, tiba-tiba copet I tertawa
terbahak-bahak yang lain jadi terkejut/heran)
Copet II : Lho, kenapa
sekarang dia malah ketawa?
Copet III : Kumat, mungkin?
Kambuh sakit edan atau ayan?
Copet IV : Mat! Kenapa kau
tertawa?
Copet I : (masih terus tertawa)
Copet III : Mat, kamu tidak
kumat, bukan?
Copet I : (Sambil terus tertawa) Wah, kenapa
sekarang kalian menjadi manusia-manusia tolol? Kenapa sekarang kalian mudah
sekali ditipu?
Copet II : O! Jadi kamu tadi
tidak marah, Mat?
Copet I : Edan apa? Masak
sama kawan sendiri ok marah?
Copet IV : Wah, kalau tahu
kau tadi tidak marah saya tidak akan ketakutan seperti ini. Nih, lihat,
gara-gara kamu pura-pura marah, saya sampai terkencing-kencing di celana. Lihat,
celanaku basah kuyup.
Copet I, III, IV : (tertawa bersama)
Copet II : Kamu cocok sebagi
pemain sandiwara kalau begitu. Permainanmu tadi sungguh-sungguh akting yang
total sekali!
Copet I : Sungguh?
Sungguhkah, kata-katamu itu?
Copet II : Iya, dong! Kau
bisa jadi pemain watak.
Copet I : Hiihik! (sambil rlari-lari kegirangan)
(yang lain senyum-senyum sambil menempelkan
telunjuk masing-masing di jidat dengan posisi miring)
Copet I : Tapi, tapi saya
tidak edan kan?
Copet II, III, IV : O, tidak, tidak.
(tiba-tiba datanglah seorang wanita
berkerudung sambil membawa bungkusan mukena dan sajadah untuk shalat)
Copet III : Sssst! Lihat,
tuh! Ada mangsa datang!
Copet II : O, iya! Waduh
cantiknya, Meks!
Copet IV : Stop, Nona! Mau ke
mana?
(Wanita muslim itu berhenti dan menatap
komplotan itu satu persatu)
Copet II : Wah, tatapannya
maut, sih. Keder juga aku.
Copet III : Kalau aku justru
malah jatuh cinta! Ohhhhh...bidadariku, inikah yang dinamakan cinta pada
pandangan pertama?
Copet I : Alaaaa...pandangan
pertama gombal!
(wanita itu kembali akan meneruskan
perjalanan)
Copet IV : Lho, lho, nati
dulu, Nona Ayu. Pertanyaanku belum dijawab, bukan? Mau ke mana bidadariku?
Wanita Muslim : Minggir. (sambil pasang kuda-kuda)
Copet IV : Oit, melotot. Aksi!
Mau melawan, ya? (Copet IV mendekat dan
akan mencolek, tiba-tiba tangannya ditangkap dan diplintir, lalu ditendang)
Copet IV : Waduh-waduh! Tiada
kusangka kalau dia pandai pencak silat.
Copet II : Nah, itu namanya ketanggor.
Copet III : Kamu ini
bagaimana? Orang temannya kena celaka, tidak ditolong malah dicela.
Copet II : Lha, dia kemlinthi, kok! Lha, ya biar kapok!
Copet I : Sudah, sudah,
perkara sepele saja diributkan. Kan sekarang ada perkara yang lebih menarik dan
menguntungkan. Tuh, tuh lihat dia mau pergi. Heit, heit, mau pergi ke mana,
nih. Ayo, kawan, cepat. Kita gasak saja. Kita preteli perhiasannya. Kita
perkosa orangnya. (tiba-tiba datang seorang Kiai)
Kiai : Ha...ha...ha...sungguh
pemandangan yang lucu. Empat ekor serigala kelaparan mencoba memangsa kelinci
tak berdaya. Sungguh tak seimbang.
Wanita
muslim : Guru!
Kiai : Minggirlah, Zubbaidah,
mereka bukan lawanmu. Dan mereka memang patut diberi pelajaran.
Copet I : Siapa kamu? Minggir! Kalau tidak
parangku, Kiai Kalamenjing ini, akan merobek tubuhmu.
Kiai : Oke, aku tidak mau minggir.
Kalau memang penasaran majulah!
Copet I : Bangsat! (terjadi perkelahian, Kiai dikerubuti, tetapi tetap unggul)
Copet III : Aduh, waduh bingung. Aku kapok, Pak
Kiai, kapok!
Copet IV : Waduh kepalaku benjut. Ampun!
Copet II : Seluruh tubuhku rasanya ngilu
semuanya. Jangan, Pak Kiai, saya jangan dipukuli lagi.
Copet I : Saya juga kapok, Pak Kiai.
Kiai : Benarkah kalian sudah kapok?
Copet I : Iya, Pak Kiai. Sungguh!
Copet II : Yakin - ainul - yakin, Pak Kiai.
Kiai : Alllaaaa! Pakai yakin “ainul
yakin” segala
Copet II : Lho, diam-diam saya dulu pernah
jadi santri di pondok, Pak Kiai.
Kiai : Lha, kenapa sekarang kok
mbrandal?
Copet II : Itulah Pak Kiai saya lari dari
pondok gara-gara mencuri petromaks.
Kiai : Dasar! Lha kamu?
Copet I : Kalau saya dulu juga sering ke
mesjid, Pak Kiai. Terutama kalau bulan puasa saya ikut terawehan. Tetapi
terus-menerus saya sering nyolongi sandal baru di masjid.
Kiai : Asem, kamu!
Copet III : Kalau almarhum kakek-buyut saya dulu
seorang modin, Pak Kiai. Suka mimpin kenduri, itu kata orang tua saya. Tapi
sayang saya dilahirkan dalam rumah tangga yang kacau balau. Bapak saya tukang
kepruk. Ibu saya seorang pelacur jalanan.
Kiai : Astagfirullah! Manusia
memang tidak akan mengetahui apa yang akan menjadi rencana-rencana Allah. Tuhan
memang mengemudi kita semua. Tetapi jika kalian terjerumus ke jurang yang penuh
onak dan cadas, jangan kalian salahkan Tuhan. Sebab kalian telah turuti bujukan
syaitan nirajim! (semua orang bengong.
Lalu bersama-sama mengangkat tangan, seperti gaya orang mendoa “Amin” dalam
kenduri)
Kiai : Pada mulanya kalian ini
adalah fitrah. Namun orang tuamu telah salah dalam menjuruskan kalian. Di
samping kalian sendiri yang salah dalam memilih teman bergaul. Saya tidak akan
berkata penjang lebar. Hanya saya akan menawarkan pada kalian. Jika
kalian ingin meluruskan jalan kalian, saya sanggup memberi petunjuk. Jika
tidak, toh itu urusan kalian juga. Aku akan segera meneruskan perjalanan.
Copet II : Kawan-kawan alangkah baiknya
tawaran Pak Kiai. Kita telah ditaklukkannya. Dan jadi berandal pun lama-lama
bosan juga. Pikiran selalu tidak tenang dan khawatir. Oh, aku jadi ingat sebuah
nasehat: “Bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu
sendiri tidak mau mengubah”. Betul begitu bukan, Pak Kiai?
Kiai : Ya, demikianlah. Sekarang
bagaimana?
Copet III : Saya nurut saja.
Copet I : Tapi gimana? Saya ini beragama Katholik,
Pak Kiai. Pakde saya ada yang jadi pastur. Saya sejak lahir telah dikukuhkan
sebagai umat Kristiani, saya telah dibaptis. Nama saya Fransiscus Xaverius
Boiman.
Kiai : Oh, begitu! Jika demikian
pulanglah kamu ke haribaan agamamu. Minta ampunlah pada orang tuamu. Segera
bertaubatlah kepada Allah dengan mengaku dosa lewat pastur. Dan jalankan kehidupan
Liturgi yang telah lama kau lupakan. Rajin-rajinlah ke gereja, sesudah mengaku
dosa pada pasturnya.
Copet IV : Terima kasih, Pak Kiai. (terdengar suara iqamah di mesjid)
Kiai : Zubbaidah, marilah!
Dengarlah Qomat di mesjid, sembahyang sudah mulai. Tak apalah kita terlambat
sedikit.
Wanita
muslim : Marilah, guru.
Kiai : Hei, kalian bagaimana? Mau
pulang atau ikut kami?
Copet I : Bagaimana?
Copet III : Lha, bagaimana?
Copet II : Yuk, ikut saja dech. Saya ikut
Anda, Pak Kiai.
Copet I : Saya juga Pak Kiai.
Copet III : Saya juga, Pak. Tapi saya diajari
wudlu dulu.
Kiai : Baik! Marilah!
Copet IV : Saya pulang dulu, Pak Kiai.
Kawan-kawan selamat berpisah. Selamat berjalan di rel yang baru. Saya akan
pergi ke gereja mulai besok Minggu.
Layar Turun
Diketik ulang oleh: Ni Ketut Anis Widhiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar