PERSIMPANGAN
P. Hariyanto
(Introspeksi untuk aku aku dan aku)
Jalan ini
tertegun di tebing, terbelah dua ke kanan dan ke kiri. Jalan yang gersang di
hari yang panas. Sedang di tengah persimpangan itu berdiri sebuah tonggak yang
mendukung sepotong papan berujung runcing kanan-kirinya. Di bagian kiri papan
itu tertulis “Neraka”, di bagian kanan tertulis “Surga”. Sedemikian yakin papan
itu berkata kepada kita, bahwa jalan yang ke kanan itu menuju ke Surga, sedang
yang ke kiri menuju langsung ke Neraka.
Babak I
Cahaya meredup ketika terdengar musik genderang berdentam-dentam.
Ketika pukulan genderang mulai surut, menderulah musik gelisah diiringi cahaya
semakin terang. Sementara itu tokoh A muncul dari antara kita dengan langkahnya
yang lelah. Sesampainya di persimpangan itu lagi-lagi ia menjadi ragu untuk
menentukan pilihannya. Akhirnya ia beristirahat di bawah papan penunjuk jalan
itu. Sesaat kemudian sampailah tokoh B dan tokoh C di tempat itu dengan
berbimbingan, penat tubuh, penat hati.
1. B :
Persimpangan...
2. C :
Persimpangan jalan lagi?
3. B : Ya,
kesekian kalinya kita menemukan persimpangan.
4. C :
Alangkah melelahkannya perjalanan ini.
5. B :
Memang. Tapi kita harus berjalan juga.
6. C : Ya,
kita tak pernah bisa berhenti. Sampai kapan kita harus jalan?
7. B : (diam, menatap papan penunjuk jalan itu)
8. C : Dan ke
mana lagi arah perjalanan kita?
9. B : Lihat,
lihatlah penunjuk itu.
10. A : Eh! Apa
yang kalian he?
11. B : Ah,
ada orang...Itu, papan penunjuk jalan itu yang kami lihat.
12. A : O.
Kusangka aku. Tapi, Saudara, apa tadi kalian tak melihat aku?
13. C :
Melihat?
14. B : Ya,
dia bertanya. Ya, Saudara! Semula kami memang tidak melihatmu, sebab kami hanya
memperhatikan tanda-tanda demi tujuan kami. Dan tiba-tiba Saudara mengejutkan
kami, maka klap...kami melihat saudara sekarang. (tertawa)
15. A : (tertawa) Aku tadi juga tidak melihat
kalian. Aku sedang berpikir-pikir, dan tiba-tiba Saudara berteriak. Maka
klap...klap...aku terkejut melihat kalian. (tertawa)
Waaaah! Memang, untuk dapat saling melihat kita membutuhkan kejutan-kejutan!
(terdengar
dentang-dentang mengetuk hati)
16. C : Mari,
kita teruskan langkah kita.
17. B : Ya,
mari. Selamat tinggal, Saudara!
18. C : Selamat
tinggal!
19. A : Lho,
ini mau ke mana?
20. BC : He? Ke
mana?
21. B :
Saudara bertanya apa?
22. C : Saudara
bertanya apa?
23. A : Ampun!
Ke mana kalian akan pergi?
24. B : Ke
mana kita akan pergi?
25. C : Ah,
menghina! Dia menguji kita.
26. B :
Saudara! Saya harap Saudara jangan mencoba menguji kami. Penghinaan.
27. A : Haaaah?
Menguji? Menghina? Jadi mudah benar berprasangka di perjalanan yang gersang
ini. Saudara, saya tidak menguji kalian, aku tidak bermaksud menghina kalian.
Ak.u kan hanya bertanya: ke mana kalian akan pergi.
28. C : Penghinaan
lagi!
29. B : Lagi
penghinaan! Saudara jangan pura-pura tidak tahu
30. A : Astaga!
Minta ampun! Aku tidak tahu maksud kalian sebelum kalian katakan, Saudara.
31. C : Terlalu!
Semua orang di perjalanan ini sama tujuannya, Saudara. Juga Saudara, jika masih
belum sinting!
32. B : Kami
mau ke Surga.
33. C : Ya,
kami mau ke Surga.
34. A : Surga?
Hah? Benar, ya benar juga. Aku juga mau ke sana. Eh, tapi, Saudara, apakah
kalian tahu dengan jelas mana jalannya, he?
35. C : Oh, itu
mudah saja. Tiap orang tahu, he? Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu
melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan
kita ke Surga.
36. A : Oooooo,
jadi melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan? Ke kanan...ke kanan...
37. B : Iya!
Ke kanan! Kebenaran!
38. A : Ya, ya,
ya, ke kanan, melalui kebenaran. Dan kebenaran itu mana?
39. B : Hah!
Kebenaran itu yang ke kanan!
40. A : Iya!
Tapi ke kanan itu yang ke mana?
41. B : Yaitu!
Ke kanan itu yang kebenaran.
42. A : Iya!
Tapi kebenaran itu...
43. B :
Kebenaran itu yang ke kanan.
44. A :
Aduuuhhh! Itulah yang kutanyakan! Aku bisa menjadi tolol ini.
45. C : Saudara!
Saya harap jangan membikin hinaan yang lain. Kebenaran kita ini telah
dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu. Lihat itu! Papan itu sudah
menunjukkan mana jurusan Surga, mana jurusan ke Neraka.
46. A : Ya,
memang, mungkin tanda-tanda itu dipermudah. Tapi, Saudara, mempermudah itu
mungkin dalam arti mempermudah benar dan mungkin mempermudah salah! Aku sudah
cukup kerap tertipu oleh tanda-tanda semacam itu. Kalian juga tentunya. Lihat
tanda semacam ini. Astaga. (tonggak itu
roboh terpukul tangannya)
47. BC : (menjerit melankolis, kemudian diam kaku
ketika ada dentang-dentang bergawang)
48. A : Betapa
rapuhnya! (mendirikan kembali tanda itu,
namun ternyata terbalik arahnya, kanan Neraka, kiri Surga )
49. BC :
Syukurlah, selamat kita semua! (bernapas
lega)
50. B : Betapa
rapuhnya!
51. BC : Apa? Apa
kata Saudara?
52. A : Betapa
rapuhnya pendirian itu.
53. C : Oh!
54. B : Bukan
rapuh! Tapi Saudara yang kurang ajar! Saudara telah lancang mengutik-utiknya
hingga roboh. Itu berarti Saudara tidak meragukan kebenaran ini, bebarti
Saudara tidak mempercayai kebenaran ini, berarti Saudara menentang setiap
pemakai jalan ini, berarti pula Saudara adalah pengacau! Pemberontak!
Pengkhianat laknat.
55. A :
Ampuuuuuuuunn! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, Saudara.
Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat
kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi,
tanpa pikir-pikir lagi!
56. C : Itulah
kepercayaan!
57. B : Itulah
keyakinan!
58. A :
Kepercayaan? Keyakinan?
59. B : Setiap
orang harus percaya dan yakin kalau ingin selamat.
60. C : Dan
papan penunjuk itu sudah berabad-abad berdiri di situ, diuji waktu dan musim...
61. A : Dan
ternyata rapuh.
62. C : Astaga!
63. B :
Astaga!
64. C : Gila!
65. B :
Sinting!
66. C : Konyol!
67. B :
Kemplu!
68. C :
Brengsek.
69. B : Tolol.
70. C : Kerbau.
71. B : Sapi.
72. C : Tikus.
73. B :
Anjing.
74. C : Kucing.
75. B : Babi!
76. C : Kuda!
77. B :
Jangkrik!
78. A :
Ampuuunnn! Aku tidak bermaksud menjadi semacam itu-itu tadi. Aku toh hanya
merasa lucu, mengapa penunjuk yang tampaknya kokoh itu ternyata mudah benar tumbangnya.
Saudara harap mengerti.
79. C : Kita
diburu waktu. Kita tidak tahu apakah Surga sudah dekat atau masih jauh dari
sini. Mari kita teruskan langkah kita dengan kepercayaan. Agar selamat, kita
harus percaya dan yakin.
80. B : Ya,
mari kita melangkah dengan keyakinan. Tidak usah mengurusi orang abnormal itu.
Keyakinan kita adalah satu-satunya kebenaran! Ayuh!
81. B : Melangkah
ke arah kanan.
82. A : (tertegun, kemudian terkejut) Hai,
Saudara, kalian menuju neraka!!!
83. BC : Ha?!
84. B : Ngaco
lagi, ya? Kali ini tak kuampuni...
85. A :
Sabar....lihat papan itu. Ke sana adalah menuju Neraka. Jurusan Surga itu ke
sana. Benar kan?!
86. B : Tidak
percaya.
87. C : Ya,
tidak percaya.
88. A : Aneh,
ya?
89. B : Ya,
aneh.
90. C : Sangat
aneh!
91. A : Lalu
bagaimana?
92. C : Ya,
kalau demikian bagaimana?
93. B : Ya,
kalau demikian bagaimana? Ah, yang terang kita harus terus jalan.
94. A : Ke
mana?
95. BC : Ke mana?
96. B : Ke
Surga, tentu saja!
97. A : Lewat
mana?
98. C : Lewat
jalan kanan, ke sana! (menghadap
penonton, menunjuk kanan)
99. B : Bukan,
ke sana! (membelakangi penonton, menunjuk
kanan)
100. C :
Ah, coba kau ingat-ingat lagi. Pasti yang benar ke sana!
101. B : Tidak.
Engkau yang salah, kanan itu ke sana.
102. C :
Tetapi papan itu juga menunjuk arah Surga ke sana!
103. B : Itu
dusta! Papan itu bohong!
104. C :
Apakah keyakinanmu mulai goyah?
105. B : Tidak!
Tidak goyah, tetapi berubah. Berubah tidak berarti goyah! Surga itu ke sana.
Papan itu salah!
106. C : Tidak!
Papan itu benar. Lihat, saya menunjuk dengan tangan kanan. Ke arah kanan juga!
107. B : Tangan
yang kanan juga yang menunjuk arah kanan. Dan aku yakin, arah Surga itu ke
sana! Kebenaranku tak dapat ditawar-tawar!
108. C : Aku
tidak menawar kebenaranmu, melainkan aku menentang kebenaran yang tidak benar,
kebenaran yang salah.
109. B : Eh!
Berarti kau menentang kebenaranku, menentang aku? Berarti kau menentang setiap
pemakai kebenaran ini? Berarti pula kau adalah pengacau, pengkhianat,
pemberontak laknat yang harus ditindas, dimusnahkan!
110. A : Ampuuuuunnn!
Aku jadi bingung! Waduh! Kalian tadi rukun, sekarang jadi tidak rukun. Ya,
Tuhan, kalian mau ke Surga. Untuk ke Surga harus melalui jalan kebenaran. Dan...jalan
kebenaran itu arahnya kanan. Dan arah kanan itu sana...atau sana...eh,
sana...eh, eh...lho, aneh! Sana kanan, sana juga kanan. Sana juga kanan, sana
juga kanan. Bawah, juga kanan! Ampuuunnnn! Aku jadi bingung! Apa benar semua
arah itu kanan? Apa benar semua jalan itu benar? He?!
111. C : Semuanya salah! Tak ada kebenaran selain
kebenaranku. Ya, kebenaran hanya satu, itulah kebenaranku! Persetan denga
kalian, dengan langkah penuh kepercayaan aku akan ke sana. Selamat tinggal
orang-orang tolol. (pergi ke arahnya
sendiri, diikuti pandangan mata lainnya)
112. B :
Kasihan, kebenaran benar-benar tidak benar!
113. A :
Oh, tidak! Mungkin benar juga dia.
114. B : Heh?
Jadi secara tidak langsung kau menyalahkan kebenaranku, ya?
115. A :
Oh, tidak! Mungkin benar juga Saudara.
116. B : Heh?
O, saya tahu sekarang, jadi secara tidak langsung Saudara sendiri mengaku tidak
benar, ya?
117. A : Oh,
tidak! Mungkin benar juga saya.
118. B : Heh?
Kalau begitu, jelasnya apa kebenaran Saudara itu, he?
119. A :
Begini. Kebenaran saya adalah, kebenaran, yaitu, kebenaran saya
adalah...bingung.
120. B : (tertawa) Bingung? Bingung yang kebenaran?
Kebenaran yang bingung? Ya. Allah, Saudara telah mencari kesukaran sendiri
dengan tidak mau yakin. Naaaah! Selamat berbingung-bingung di persimpangan ini.
121. A : Ya,
pergilah! Selamat melarikan diri ke dalam keyakinan.
122. B : Diam
kau! (lari ke arahnya sendiri, bersama
dengan suara gemuruh dan cahaya yang meredup)
Babak II
(genderang melemah. Lampu menerang. Musik
mengalun tersendat-sendat. Segerombolan orang mendatangi dengan
terhuyung-huyung. Tokoh A bangkit menyongsongnya)
123. A :
Ahoi! Saudara-saudara, selamat datang! Jangan diam dan sedih, di sini kita
bebas memilih. Ke sana? Ke sana? Atau di sini saja menanti.
124. (gerombolan
orang itu terus bergerak dengan diam. Dengan mata terus menatap tanda jalan
itu. Mereka menuruti petunjuk itu. Tokoh A terkejut dan memutar tanda.
Gerombolan itu berbalik arah dan berjalan lagi. A mengubah tanda itu lagi.
Orang-orang itu menjerit bertanya: Apa ini? Sebenarnya apa? Apa yang terjadi? Itu.
Lihat itu! Itu, anu! Tiba-tiba begini! Ya, dulunya tidak apa-apa, lalu...blum! Mengapa?
Kenapa, he? Mengapa begitu? Mengapa, blum? Wah pasti anu...! Bagaimana, ya?!
Aneh sih! Mengherankan! Ajaib! Heboh! Dahsyat! Abnormal! Mengerikan!
Mencemaskan! Menakutkan! Mengharukan! Waduh, waduh! Ya, Gusti, lalu bagaimana.
Ya, Allah jabang bayi, mengapa begitu? Seperti mimpi saja!)
125. D : (membunyikan peluit) Tenang! Tenang!
Coba tenang. Ingat, hati boleh mendidih, tapi....kepala harus dingin! Nah,
bagaimana ini?
126. - : Aku
bilang, ini alamat celaka bagi kita!
127. - : Ya!
Firasat saya juga mengatakan: jalan ke Surga tertutup bagi kita!
128. - : Wah!
129. - : Kalau
begitu bagaimana kita?
130. - : Wah!
Wah!
131. - : Iya!
Bagaimana nanti saya?
132. - : Wah!
Wah! Wah!
133. - : Kita
jalan terus saja bagaimana. Ini hanya usul saya, lho!
134. - : Wah!
Wah! Wah! Wah!
135. - : Usul
sih, boleh-boleh saja, tapi pikir, sampai kapan kita mau jalan! Besok jalan!
Wah! Kapan kita akan berhenti, he?
136. - : Iya, ya? Kapan berhenti?
137. - : Kapan
berhenti?
138. - :
Kapan?
139. - : Ya,
coba jawablah, kapan? Masak kita selama ini selalu menyerah saja. Tahu-tahu
kita telah jalan. Itu boleh-boleh saja, tapi paling tidak kan perlu juga
pikir-pikir, kapan berhenti? Gitu, kan?
140. - :
Betul! Itu betul!
141. - :
Setuju!
142. - :
Akoooorrr!
143. D :
Tenang! Tenang! Coba tenang! Dengar, kita akan berhenti setelah sampai di
tujuan.
144. - :
Tujuan? Itu tujuan siapa, Bung?
145. D :
Tujuan kita bersama tentu! Surga kebahagiaan!
146. - :
Betul, saya setuju!
147. - : Lalu
kapan kita sampai di sana?
148. - : Ya,
kira-kira saja kapan?
149. D :
Kalau kita terus berjalan, kita akan sampai di sana. Percayalah!
150. - : Jadi
kita harus jalan terus?
151. D : Iya!
Kita harus jalan terus!
152. - : Jaln
terus, terus, terus, terus? Waduh!
153. - : Oh,
ya, jadi setelah terus, terus, terus, terus...lalu berhenti?
154. D :
Pasti! Kita berhenti setelah sampai tujuan.
155. - : Lalu
kapan sampainya di tujuan?
156. D : Setelah
kita jalan terus, tentu saja!
157. A : Ampuuuunnn!
Aku jadi bingung!
158. - : Wah,
apa itu?
159. - :
Orang! Orang asing itu!
160. - : Ya,
Allah kusangka demit!
161. - : Harus
jalan, siapa dia? E, jangan-jangan dia yang mencuri hati saya kemarin. Apa hal macam
itu perlu dilaporkan?
162. D : Perlu sekali! Nah, awas, Saudara-saudara.
Disinyalir orang itu mempunyai keahlian yang jahat. Maka diharap kita semua
waspada. Coba periksa hati, pikiran, mata, telinga, hidung, tangan dan kaki
Saudara-saudara! Jangan-jangan telah hilang tercuri.
163. (orang-orang
itu saling memeriksa dengan ributnya. Ini, ini, ini masih ada. Tapi yang itu
kok nggak tampak? Lha ini malah seorang begini! Punyamu juga gitu kok! Masak,
kemarin saja masih baik, kok! Wah ini sih masih baik. Tapi yang itu sudah
berabe. Wah gawat. Gawat! Gawat, nggak ketulungan! Coba-coba diginikan
bagaimana? Sakit? Nggak toh? Lailah, punyamu sudah bobrok gini? Nggak pernah
dibersihkan, ya? Nggak, memang gitu kok sejak lahir! Hati-hati kamu kalau
pegang-pegang! Sudah, pokoknya selamat! Selamat nggak ada yang hilang! Ya,
paling nggak kita nggak merasa kehilangan, gitu aja! Ya! Selamat!)
164. - : Hei, siapa sih kamu itu? Orang baik-baik saja
kan?
165. - : Iya,
siapa sih kamu itu?
166. - : Kamu
siapa, he?
167. - : Aku?
168. - : lha
iya, kamu itu siapa?
169. A : Lha
kalau kamu siapa?
170. - : Wah,
berlagak macam wayang ya? Ditanya ganti tanya. Nggak bisa.
171. - : Di
sini aturannya kalau ditanya musti jawab, nggak boleh lain!
172. - : Udah,
jawab saja, Dik!
173. - : Kok,
Dik, sih? Om! Udah, Om, jawab aja baik-baik.
174. - : Masak
Om? Tante! Udah deh, Tante, jawab aja!
175. - : Kayak
begitu kok Tante? Itu Kakek. Ya, Kek, jawab aja terus terang.
176. - : Ah,
sebenarnya masih belum jelas. Perhatikan saja, mana tanda-tandanya? Kan belum
tampak? Maka untuk amannya, kita musti pakai kata-kata yang netral. Panggil
saja orang. Hei, Orang, siapa namamu?
177. - : Ya,
siapa kamu itu, Orang?
178. A : Aku
orang bingung.
179. - : He?
180. - : Astagafirulah!
181. - : Nah,
betul kan? Kan tadi udah ngira! Orang bingung dia!
182. - :
Gawat! Gawat!
183. - : Wah
tentu kamu tidak punya kepercayaan, iya. Iya saja!
184. - : Ya,
kasihan benar dia...
185. - : Itu
sih, sudah sepantasnya. Lha potongannya saja meragukan gitu?!
186. - :
Maklum saja, masih kanak-kanak sih! Kutaksir masih kelas nol kecil!
187. - :
Bukan, toh. Itu yang namanya sudah terlalu tua.
188. - : Ah,
nggak ah! Nggak bongkok gitu kok. Coba tenang sebentar. Nah kalau lihat
gayanya, sih....wah nggak salah lagi Michael Jackson!
189. - : Waduh,
waduh, waduuuhhh! Clila-clili macam anak ayam, ha, ha, ha, ha, ha!
190. (semua
orang itu tertawa terpingkal-pingkal sambil melontarkan berbagai komentar untuk
mengejek tokoh A )
191. - :
Sudah, ah, sudah, jangan digoda, kasihan.
192. - : Ya,
sudah, ah, jangan digoda, kasihan.
193. D : (membunyikan peluitnya) Tenang, tenang! Demi
ketertiban dan keamanan semua harapa tenang. Akan kutanyai dia. Saudara
bingung?
194. A : Iya.
Dan sebab itu aku menghentian langkah Saudara-saudara, kare..
195. D :
Stop! Cukup! Kami sudah tahu apa yang akan Saudara katakan. Nah, kami merasa
terpanggil untuk menolong Saudara.
196. A : Lho,
mengapa?
197. D :
Maaaaa! Pinter! Itu memang pertanyaan yang bagus. Tapi sayang tidak kami
perlukan. Bukan mengapanya yang penting.
198. A : Ya,
Allah! Saya ini harus bertanya pada Saudara?
199. D : Tentu!
Dengan sendirinya! Otomatis! Sebab Saudara adalah orang bingung, sedang kami manusia-manusia
yakin! Orang bingung harus bertanya pada orang yakin agar ikut emnikmati
keyakinan.
200. - : Benar,
Saudara, nggak usah sangsi!
201. - : Ya,
itu sungguh-sungguh benar!
202. - : Ya,
itu mutlak benar!
203. - : Coba
pakai otak sedikit. Itu benar, Saudara, percayalah.
204. - : Saya
sendiri tidak mungkin menyangsikan lagi, kok, percaya!
205. - : Situ
lagi, om saya, ayah saya, teman saya, yang di sana malah guru saya dan bedinde
saya aja juga begitu, kok!
206. - : Lha,
pengemis yang kemarin minta-minta kepadaku, di rumahku, aja ya cerita begitu
kok, apalagi itu, huh!
207. - : Pokoknya
kalau normal mesti dapat menerima. Bayangkanlah: semua saja akor kok, romo
pastor, suster, pak guru, pak RT, pak RK, pak Camat, pak Walikota, pak
Gubernur, H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Rene Wellek, Bing Slamet,
Ernest Hemingway, Putu Wijaya, Chairil Anwar, Pablo Picasso, Hitler, Rhoma
Irama, Ateng, Mochtar Lubis, Marga T., Bung Karno, Rendra, Emilia Contessa,
Anton Chekov, Soren Kiergaard, Achmad Albar, Broery Abdullah, Elvy Sukaesih, Andra Malraux, Jasper, Rudy
Hartono, Ali Sadikin, Profesor Driyarkara, Purwadarminta, Lenin, Russeu,
Mohammad Ali, Inoki, Gorys Keraf, Langeveld, Kardinal Darmoyuwono, Paus Johanes
II, Ibu Kita Ka Johanes II, Ibu Kita Kartini, Taufiq Ismail, Mozart, Beethoven,
Malthus, Mao Tse Tung, Goenawan Mohamad, Raquel Welch, Wolly Sutinah, Ratmi
B29, Tan Ceng Bok, Benyamin S., Roger Moore, Brigitte Bardot, Satyagraha
Hoerip, Arif Budiman, Iwan Simatupang, Wiratmo Soekito, Romo Dick Hartoko,
Bakdi Soemanto, Emily Dickinson, Ilya Whrenburg, Feng Chih, Maxim Gorki, Fuad
Hassan, Horatio, Lorca, Pasternak, Ranggawarsita, Resi Wiyasa, Walmiki, Empu
Kanwa, Empu Prapanca, Daendels, Raffles, Westerling, Kartosuwiryo, Kahar on,
Untung Aidit, Marcos, Hirohito, Chiang Kai Shek, Indira Gandhi, Neil Armstrong,
Fidel Castro, Yoan Tanamal, Chica Koeswoyo....
208. D :
Stoooop! Untuk sementara sekian dulu. Semua itu memang harus dikenal, dihafal
demi harga diri dan testing di Surga. Nah, jadi kesimpulannya, pendapat saya
tadi benar, sebab banyak yang setuju, kalau perlu kami dapat mengutip kata-kata
mereka sebagai argumentasi. Bagaimana, Saudara?
209. A :
Ah! Itu salah! Itu salah! Itu tadi salah!
210. - : Waduh!
Hei!
211. SMA : Hei!
212. - :
Amboi!
213. SMA : Amboi!
214. - Fui!
215. SMA : Fui!
216. - : La
la la!
217. SMA : La la
la!
218. - : Li
li li!
219. SMA : Lili
li!
220. - : He
he he!
221. SMA : He he
he!
222. - :
Ohuk! Ohuk!
223. SMA : Ohuk!
Ohuk!
224. A : Hea-hei-hea-hei-heah!
Hea-hei-hea-heah! Hea-hei-hea-heah. Itu salah! Itu salah! Itu salah! Ampuuuun!
Itu salah!
225. Semus
terdiam oleh teriakan yang membelah itu.
226. A : Yang
benar orang yakin itu harus bertanya pada orang bingung. Sebab orang bingung itu
artinya menemukan persoalan, menghadapi persoalan. Ia hidup! Sedang orang yang
tak bingung, seperti kau, kau, adalah orang yang tidak menghadapi masalah lagi.
Kalian hanya menghanyutkan diri pada kepercayaan, keyakinan dengan aman dan
tenteram, tanpa pikiran, tanpa masalah, tanpa hidup lagi. Sebenarnyalah kalian
itu meyakini suatu kebingungan! Pikiran-pikiran, prasangka-prasangka,
tujuan-tujuan semu, harapan-harapan kabur, semua itu adalah ujud
kebingungan-kebingungan yang disemarkan ke dalam keyakinan! Camkan!
227. (Orang-orang
itu mulai bergerak lagi, saling berbisik, ngomong lagi)
228. - : Wah! Kok seperti pak guru, ya?!
229. - : O, barangkali memang calon guru. Lihat saja
potongannya!
230. - : Bukan. Saya jelas-jelas tahu,
sebenarnya dia itu pensiunan guru. Lihat saja gerak-geriknya, kan tampak?!
231. - : Tapi, ini lho, kata-katanya tadi apa,
ya, benar?!
232. - : Barangkali benar!
233. - : Memang kalau ditinjau dari sudut sini,
agaknya benar. Dari sudut itu entah. Coba saja....!
234. - : Kalau saya cuman pengen bilang: bohong!
235. - : Iya, bohong!
236. - : Bohong!
237. - : Iya, saya kira juga bohong saja!
238. - : Ah, masak iya?!
239. - : Coba, diingat-ingat lagi, cocokkan
dengan keterangan-keterangan lain. Nanti tahu-tahu....cek-cek-cek...Benar? Kan
nggak enak kita!
240. - : Ya, setelah saya renungkan, dia benar!
241. - : Jadi enaknya, dia benar saja? Apa
gimana?
242. - : Gimana pertimbangan teman-teman?
243. - : Benar dah.
244. - : Bohong!
245. - : Benar!
246. - : Bohong!
247. D : Ya, jelas bohong dia! Saya tegaskan
sekali lagi, setelah melihat ini, melihat ini, melihat ini, menimbang sana,
menimbang sini, kami memutuskan: dia bohong! Dan demi persatuan ini harus
diterima dengan suka rela! Nah, Saudara-saudara, jawab: ke mana tujuan kita
semua?
248. SMA : Ke
Surgaaaaa!
249. D : Surga itu letaknya di mana?
250. SMA: Jaaaauuuuuhhhh!
251. D :
Jalan mana yang harus kita tempuh?
252. SMA : Jalan
kebenaran!
253. D :
Kebenaran itu arahnya mana, Saudara?
254. SMA : Arah
kannnnaaaan!
255. D : Na,
bagaimana Saudara bingung? Lihatlah, kami punya keyakinan yang teguh dan pasti,
bukan?
256. A : Mungkin!
257. D : Mungkin?
258. A :
Begini, saya mau tanya pada Saudara-saudara masing-masing sebagai pribadi. Kata
orang Surga itu letaknya jauh, kata orang kita harus lewat jalan kebenaran,
kata orang kebenaran itu kanan. Nah! Menurut Saudara, mana kebenaran itu? Mana
arah kanan itu?
259. (orang-orang
itu menunjuk arah kanannya sendiri-sendiri. Mereka jadi riuh. Ada yang menunjuk
utara, ada yang menunjuk timur, barat, tenggara, atas, bawah, dan sebagainya.
Ada juga yang sama arah yang ditunjuknya. Mereka yang sama menjadi satu karena
itu. Mereka berteriak-teriak saling mempengaruhi. Sana! Sana, Pak! Kanan itu,
sana, Om! Kita harus ke sana. Sana, Pak! Kanan itu sana, Om! Kita harus ke
sana. Kebenaran kita mesti ke sana! Jelas ke sana! Kukira sana! Kupikir ke
sana! Kuduga ke sana! Kuharap ke sana! Ke sana aku yakin, nih. Sana, pasti!
Paaastiiiii!)
260. D :
Hai, Saudara-saudara, kanan itu ke sana! Nah, Saudara-saudara itu pintar!
261. - : Bukan, toh! Bukan sana, tapi sana!
262. - : Salah. (tertawa) Masak ke sana. Sana! Kan kentara sekali?!
263. - : Coba ingat-ingat, ke sana kan? Iya saja,
ke sana!
264. - : Maaf saja, kalau menurut saya, ke sana.
Rasakan saja, coba!
265. - : Nggak! Mbok pakai otak! Otak itu
penting. Na, sana kan? Iya, saja!
266. - : Intuisi itu penting. Coba perhatikan.
Kalian kan tahu aku punya ketajaman intuisi kan? Tenang, ya! Nah,....em, em,
em, nah, sana! Sanalah kanan itu, sanalah kebenaran itu, yakinlah!
267. - : Tolol semua! Salah semua! Kanan sana,
mbok lihat sejarahnya!
268. - : Wah, keliru juga, Bung, keyakinanmu. Menurut
kitab Blanggentak-Blang-Blang karangan Profesor Doktor Pil-Plo-Wak, ayat
zazaza, halaman koplok, bab bab bib bub, kanan sana, mbok lihat sejarahnya.
269. - : Jangan mau ditipu, jangan suka menipu,
kanan itu sana!
270. - : Tak ada yang benar! Sana sana sana sana
sana itu hanya akan menuju ke Neraka! Kebenaran Surga harus lewat sana!
271. - : Hai! Kubunuh kau jika banyak mulut! Semua
saja dengar! Sanalah yang benar! Sanalah satu-satunya kebenaran yang harus kita
perjuangkan bersama!
272. SMA : Aaaaaaaaa! Itu kan kamu! Pergi!
273. E : Oh,
Saudara-saudara yang terkasih, saya tahu hati Saudara gelisah. Tapi jangan
cemas demi cinta kasih saya akan menolong Saudara semua menuju Surga yang
dijanjikan. Nah, marilah kita ke sana...
274. SMA : Beeee! Itu kan kamu! Pergiiiii!!
275. F : Demi
kemanisan, keluhuran budi pekerti, kebersihan jiwa raga, ketertiban,
perdamaian, kebaikan, kesopanan, keindahan, kebudayaan dan kemajuan maka dengan
kehendak baik dan sadar, mari ke sana....
276. SMA : Ceeeeeee!
Itu kan kamu! Pergiiiii!
277. G : Terima
kasih, Saudara. Memang sepantasnya mereka kita tolak. Sebab, bukankah kita
manusia harus gini, gini, gini, dan gini? Bukankah kita manusia abad ini harus
demikian, demikian, demikian? Bukankah kita generasi kini harus, a, b, c, d, e,
f, g, dan seterusnya? Bukankah kita sebagai warga negara harus, bub, bib, bab,
bob? Bukankah kita sebagai anu harus anu, anu, anu, anu, anu? Sebab itu kita
harus ke sana!
278. SMA : Deeeeee! Itu kan kamuuuu! Pergiiiii!
279. H : Stoooooopp!
(membunyikan peluit) Akhirnya saya
terpaksa bertindak tegas. Siapa pun juga, kapan pun juga, bagaimana pun juga,
di mana pun juga, tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Demi kestabilan rohani
dan jasmani, demi keharmonisan dunia akhirat, maka semua saja tidak boleh tidak
harus ke sana! Siapa menentang akan ditindak tegas. Tahu?!
280. SMA : Diam
kau!
281. (sesaat
sepi. Terdengar musik duka penyesalan. Orang-orang itu menunduk. Mereka saling
berjabat tangan. Kemudian melangkah ke arah
masing-masing).
**
Diketik ulang oleh: Ni Ketut Anis
Widhiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar