WELCOME TO "O-REZ" BLOG

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam Budaya!!!

Wellcome to my blog !
Selamat datang teman-teman pecinta budaya ... Blog ini O-Rez buat untuk memberi sedikit bantuan kepada teman-teman yang sedang membutuhkan naskah-naskah teater, cerpen, maupun monolog. Tak perlu panjang lebar, silahkan nikmati naskah-naskahnya !!!
Semoga berguna !!!

Keep Smiling From O-Rez :)

Label

Kamis, 11 Oktober 2012

MALIN



M.S. Nugroho
MALIN
-The End Scene

00

Di lautan. Ombak berdeburan dan langit berkilatan. Kapal membatu  dan angin gemetaran.
Sekelompok orang bernyanyi layaknya nelayan.

Penyanyi    : Cerita membuka luka di balik luka
                          Pedas dan pedih tiada terasa
                          Air mata hanyalah hiasan
                          Hati dan pikiran jadi redam

                          Jika amarah jadi udara
                          Mulut menyembur tiada terarah
                          Tangan menusuk sampai berdarah
  Setan dan nafsu menjadi kendara
01

Badai menggeram, suara MALIN tertawa lantang.

MALIN           : Tidak. Aku tidak punya bunda seperti kau!
BUNDA          : Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak bumi. Nyawamu
                          tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai kasihku. Darahmu
  mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku, kembalilah ke
  kapalmu. Jika engkau benar anakku,  kembalikan air susuku. Kembalikan.
  Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau, batulah engkau!
MALIN           : Bunda, benarkah engkau itu Bunda?
Dalang        : Duh, Bunda si Malin Kundang
  Telinga terbakar, hati berdarah
  Mulut mengutuk anak tersayang
  Langit keramat tersentak dan jadilah...
PENYANYI    : Halilintar mencambuk lautan, maka kutukan jadilah perwujudan.

BUNDA tertawa kesurupan

02

DALANG        :  Tapi sekejap kemudian sadarlah BUNDA.
               MALIN telah lenyap dari pandangan.
   Tinggal sebongkah batu kesepian.
   Air mata jadi rinai hujan.
PENYANYI    :  Tiga belas burung camar berputaran
                           Dengan paruh teriakan bersahutan
                           Kini udara menjadi mantra kutukan
                           Terpendam dari senja kesedihan
BUNDA          :  Malin! Malin! Malin! Di manakah engkau, Anakku? Malin, apakah engkau
   mendengarku? Malin, jawablah. Sembunyi di mana, diam di mana,  Anakku?
   Jawablah. Aku yakin, kau mendengarku. Tidak bisa tidak, kau pasti  
   mendengar aku. Dengarlah. Peluklah Bunda kau sekarang. Katakan  kau  
   merindukan aku. Ayo lakukan. Kalau tidak, buat apa aku hidup. Aku  
   menjaga nafasku untuk mencium kening kau. Kalau Bunda tak kau jawab,
   sia-sialah kuhirup nafasku sendiri. Dan baju sang maut akan lebih layak
   kukenakan. Upacara kematian di depan mata anaknya sendiri yang tak tahu  
   diri. Kau lihat, Malin. Tongkat ini masih cukup tajam untuk menusuk
   jantung renta ini. Kau kuhitung sampai sembilan untuk datang kepadaku.
   Karena kau telah datang ke pangkuan bunda melalui sembilan bulan eraman
   rahimku. Bersiaplah, aku mulai menghitung dari angka paling akhir.
   Sembilan....  Malin, baiknya, maafkan Bunda. Bunda tak sengaja, Sayang.
   Ini tak sengaja. Ini seperti teriakan sakit ketika gigi susumu menggigit
   putingku. Aku sakit  kepada diriku sendiri, bukan kepada kau. Delapan...
   Mana mungkin seorang ibu menyakiti anaknya. Untuk apa perjuangan
   melahirkan kau kuhapus sendiri dengan mengusir kau. Untuk apa Bunda
   mempertaruhkan nyawa kalau untuk membenci kau. Untuk apa Bunda
membanting tulang untuk kau. Tujuh.... Kalau pada akhirnya harus mengutuk
anaknya. Untuk apa? Malin, itu  bukan Bunda. Sekarang, inilah Bunda,
Malin. Bunda yang rela kakinya berdarah-darah, naik-turun gunung, jutaan
hasta: untuk menatap wajahmu.  Enam.... Inilah Bunda, Malin. Bunda
yang sabar sendirian menunggu ratusan malam di tengah udara jahat
dan tamparan hujan: untuk menyambut kedatangan kapal kau. Lima....
Inilah Bunda, Malin. Bunda yang rela mencium kaki kau dan bahkan  
berubah menjadi batu  supaya kau  tersenyum. Empat.... Bunda bersungguh-
sungguh untuk membunuh diri jika kau tak menjawab, Malin. Tiga....
Apakah kau benar-benar telah menjadi batu? Telinga kau menjadi batu
dan hati kau juga menjadi batu?  Dua.... Sampai hitungan kesekian kau tidak
juga menjawabku, Malin? Apakah Bunda terlalu hina untuk kau? Satu.... Ini
sudah masuk hitungan terakhir. Kau di mana? Kau memang batu. Aku
mengajari kau menjadi lautan, kau malah menjadi batu.  Aku akan.... Ini
detik terakhir.... Nol....Nol.... Nol.... Malin, kau sangat tega, ya? Ini kau
sudah putuskan. Baiklah, mungkin ini yang terbaik. Bunda memang bersalah.
Bunda memang telah mengutuk kau. (Mengoyak-ngoyak  bajunya   sendiri)
   Badan ini memang tak layak sebagai seorang bunda. Jantung ini memang  
   baiknya diam selamanya untuk minta ampun pada kau. Bunda memang  
   pantas mati untuk menebus kesalahan Bunda. Darah ini akan menjadi saksi.  
   Nyawa ini untuk kau, Malin!

Bunda menusuk jantungnya sendiri.

DALANG        :  Duh, derita mana bisa kalahkan derita bunda
                           Derita bunda karena kasih kepada putranya
                           Dipalingkan dan dicampakkan putranya sendiri
                           Putra yang tak menganggap bundanya lagi

03

Dalam lindap senja, MALIN bergerak-gerak seperti bayi baru lahir. Matanya penuh air. Awalnya gagap dan suaranya berupa bisik.

MALIN           :  Bunda. Bunda. Jangan lakukan!
BUNDA          :  Malin? (Tersenyum) Engkaukah itu?
MALIN           :  Ini Malin, Bunda. Anakmu.
BUNDA          :  Malin!

DALANG        :  Tarian kerinduan membuncah menjadi pertemuan. Tiada lain yang
   dilakukan kecuali pelukan yang dieratkan. Pelukan demi pelukan yang
   sukar terpuaskan.

Bunda tertawa kegirangan. Sejenak kemudian merona kemarahan dilimbur tangisan.

BUNDA          : Kau jahat. Kau jahat. Mengapa kau lakukan ini. Batulah kau. Batulah kau. 
MALIN           : Bukankah ini yang Bunda inginkan? Ini Malin sudah menjadi batu, Bunda.
BUNDA          : Apa? Kau tak paham juga. Lihatlah mata Bunda. Dua puluh tiga matahari
  telah memeluk aku dan kau, tapi kau tak kenal juga wajah Bunda. Ayolah,
  bangun. Peluk Bunda.
MALIN           : Tidak, Bunda. Biarlah Malin tetap menjadi batu. Menjadi batu dan tidak
                          akan berubah.
BUNDA          : Kau memang batu dan tidak akan berubah!

MALIN           : Ini sudah menjadi garis nasib Malin, Bunda. Langit keramat tidak akan
  mengabulkan kutukan Bunda kalau  kata-kata hanya permainan.
  Kemarahan Bunda yang paling dalam telah menggetarkan darah dan
  lengan  langit.
BUNDA          : (Menangis) Tidak, Malin. Tidak. Bunda tidak marah.  (Tersenyum) Apa yang
paling  terang dalam hidup ini adalah misterinya. Ketika bapak kau ditelan gelombang dulu kukira memang benar-benar meninggalkan aku. Ternyata tidak. Bapak kau menyisakan cintanya dalam perutku, yaitu kau Malin. Kaulah cahaya dalam hidupku. Kaulah sumber kebahagiaan aku, Malin. Kau ingat lagu yang kita nyanyikan bersama dalam sinar bulan? (Menyanyi) Ketika matahari terang, kita sering bekejar-kejaran di ladang jagung milik kita. Kau sering bersembunyi di balik gundukan tanah. Malin, Malin. Kupanggili kau. Aku cemas mencarimu ke mana-mana. Malin, Malin!
MALIN           : (Tiba-tiba memeluk punggung BUNDA dan tertawa-tawa) Malin di sini,
  Bunda!
BUNDA          : Kau mengagetkan aku, Malin. Kau nakal, Malin. Kau nakal.
MALIN           : Tapi aku pernah menangkap ayam hutan merah untuk Bunda. Lalu kita
  panggang malam harinya! Bunda melumuri dagingnya dengan madu
  lebah hutan. Hm... harum. ( Makan) Gurih sekali.
BUNDA          : Aku melihat melalui cahaya api panggangan, kau makan lahap sekali.
  Bahkan kau hampir menghabiskan ayamnya. Tak apalah aku tidak
  mendapatkan sisa dagingnya. Aku sudah senang melihat wajahmu menyala
  gembira.

DALANG        : Duh, inilah pertemuan anak semata wayang dan bunda tersayang
                          Waktu seolah berulang, bayangan jadi layar terbentang
                          Kisah sehari-hari jadi indah ketika dikecup oleh kenangan
                          Sayang-sayangnya ini bukanlah suasana untuk senang-senang.
MALIN           : (Menangis) Bunda, aku sekarang juga tidak apa-apa menjadi batu seperti  ini.
  Tidak usah cemaskan aku. Biarlah aku bisa merasakan kesepian Bunda
  seperti ketika kutinggal merantau dulu.
BUNDA          : Tidak, Malin. Bunda maklum kau tak kenal Bunda lagi. Ketika engkau
pamit, Bunda masih bugar bersinar. Setelah lewat tiga tahun, Bunda sering
sakit dan ladang kita telah tergadai. Kemudian aku mendengar angin berkabar: Malin akan berlabuh di pulau ini.  Cepat-cepat aku berangkat. Aku menunggu kau di pantai. Terus saja aku menatap cakrawala. Tanpa rumah berteduh, tanpa air untuk berbasuh, tanpa kilau cermin. Berhari-hari. Kau bisa melihat betapa kacaunya penampilanku (tertawa).
MALIN           : (Menangis tambah keras) Batulah aku. Batulah aku. Betapa durhakanya  aku,
  Bunda. Bertahun-tahun tega meninggalkan ibunya sendiri dalam  sakit dan
  melarat. Anak macam apa aku ini, Bunda. Aku memang pantas jadi batu,
  Bunda...
BUNDA          : Malin. Semua itu perintah lautan, anakku.
MALIN           : Ketika aku turun ke pantai ini, kakiku berdarah-darah amat perihnya. Aku
  tak bisa bayangkan kalau yang berjalan itu kau, Bunda. Berlaksa depa
  menapak, turun lembah naik bukit, ditampar malam dihajar siang, didera
  lapar, dalam lara dan nestapa. Kemudian mendapatkan hadiah: ditolak  
  anaknya. Betapa ini sangat menyakitkan, Bunda. Aku anak terkutuk.  Aku  
  terkutuk, Bunda.
BUNDA          : Aku telah rela,  Anakku. Toh, akhirnya kerinduan telah terbayarkan, Malin.
MALIN           : Tapi aku mencampakkan kau, Bunda.
BUNDA          : Karena kau tidak tahu. Udara laut telah menyihir mata kau. Kau menganggap
  aku gelandangan atau orang gila. Kau pasti tidak membayangkan kalau
  aku bunda kau.
MALIN           : Bunda terlalu ingat pada anak, hingga lupa diri sendiri. Aku pun tak tahu diri,
                          hingga lupa kepada bunda sendiri.
DALANG        : Hm, sang waktu telah berkhianat
                          Meremukkan segar wajah Bunda
                          Jadi renta dan nestapa
PENYANYI    : Sang Bumi pun telah beruntun menyerbu
                          Tanah kebun besar beribu-ribu
                          Jadi hanya segenggam debu
DALANG        : Lalu apa salah jika mata tak lagi kenal Bunda?
                          Bayangan telah jauh meninggalkan kenyataan.

BUNDA          : (Tertawa) Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu
  kepada istri dan anak buah kau? 
MALIN           : Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA          : Jangan justa! Katakan dengan jujur!
MALIN           : Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung halaman.  Sebenarnya
  kami ke pulau ini memang hendak menjemput Bunda. Tapi...
BUNDA          : Kau malu untuk mengakui bahwa ....
MALIN           : Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri Sabarini,    
  istriku. Aku takut...
04

DALANG        :  Mendengar namanya disebut, runtuhlah sebongkah batu, dan jadilah Puteri
   Sabarini. Musik pengantin mengembang di udara.

PUTERI           :  Malin. Malin. Mengapakah Uda menyebutkan namaku untuk  mendurhakai,
   Bunda.  Siapakah malu mengakui kalau sang bunda melarat atau tak waras.
   Bunda adalah hakikat kehidupan, tak ada sesuatu pun bisa mengubahnya. 
MALIN           :  Puteri?
PUTERI           :  Aku menyertai Uda adalah untuk mencium kaki Bunda. Siapa pun  wanita
   itu. Aku adalah menantunya.
MALIN           :  Maafkan aku, Puteri.
PUTERI           :  (Merayu) Tidak hanya itu Uda, bersujudlah kepada Bunda. Mintalah maaf
   pada bunda kita.  Beliaulah suluh suci untuk pernikahan kita.
BUNDA          :  Lihatlah, Malin, inilah anakku itu. Puteri yang agung dan berkilauan. Aku  
   bangga kau mendampingi puteraku.

DALANG        :  Maka sepasang pengantin suci datanglah
                           Laksana layang camar bercermin di alun tenang
                           Maka bersujud di kaki bunda pembawa restu
                           Laksana sujud air laut pada pasir pantai

DALANG membawa payung tombak dan menari. Para penyanyi mengiringi acara yang jadi pesta pernikahan. Perayaan agung layaknya pernikahan seorang pangeran.

BUNDA          :  Anak-anakku, terang dan malam telah mengembangkan namamu. Melihat
   kalian adalah berhadapan dengan bunga mawar. Wajahmu menikmatkan  
   mata dan wanginya menyegarkan dada. Tapi durinya membuat kulitku terasa
   berdarah. Aku merasa gembira dan bangga tapi juga merasa cemas  
   kehilangan kalau kalian menikah. Tapi ini adalah kehendak matahari. Maka
   dengan ini: Aku berkati pernikahan kalian. Jadilah pengantin abadi yang tak  
   goyah oleh arus waktu dan gelombang dunia....  

Semua bertepuk tangan dan bergembira. Tari-tarian ular dan macam-macam pertunjukan menjadi hiburan yang meriah.


05


Tiba-tiba....
ORANG          :  (Kepada DALANG) Pak Tua, mengapa ceritanya jadi begini?
DALANG        :  Mengapa? Kalian tidak suka ada kebahagiaan dalam cerita Malin  Kundang?  
ORANG          :  Tidak. Kami tidak bermaksud demikian. Kami hanya bertanya.
DALANG        :  Saya memang pembawa cerita. Tapi bukan berarti saya harus memaksa
                           para pemain mengikuti pola yang telah ada. Kalau kalian ingin tahu
   alasannya, tanyakan saja kepada pemerannya sendiri.
ORANG          :  Baik, Pak. Kami akan lakukan. Terima kasih.


06

ORANG          :  (Kepada Malin) Saudara Malin, mengapa semua jadi begini?
MALIN           :  Maaf. Kita hormati wanita utama yang pertama berbicara.
ORANG          : (Kepada Bunda) Bunda, bagaimana perasaan Bunda atas pernikahan  Malin
   dan Puteri Sabarini?
BUNDA          :  (Tersenyum) Tentu saja sangat bahagia. Kebahagiaan anak adalah  
   kebahagiaan aku sebenarnya.
ORANG          :  Kalau begitu “penderitaan anak adalah penderitaan bunda?” Mengapa Bunda
   tega sekali mengubah anak kesayangan menjadi batu?
BUNDA          :  (Marah) Dengar dan catat. Aku tidak pernah mengubah Malin menjadi  batu.
   Itu di luar kekuasaanku. Langitlah yang membuat Malin menjadi batu.
   Bukan aku.
ORANG          :  Bukankah sudah terbukti bahwa Bunda mengeluarkan kata-kata kutukan agar
   Malin menjadi batu?
BUNDA          :  Apa? Siapa yang menyebut kutukan?
ORANG          :  Kalau Bunda tak mengutuk Malin mana mungkin Malin menjadi batu?
BUNDA          :  Kalau langit tak berkenan mana mungkin itu terjadi! (Menangis) Sudah  
   cukup. Ini bukan wawancara. Ini pembunuhan. Ini pembunuhan! (Pergi)
ORANG          :  Malin, Malin. Bagaimana pernyataan Anda, Malin?
MALIN           :  Maaf. Tolong. Perempuan lebih dulu. (Membopong Bunda pergi)
ORANG          :  (Kepada Puteri Sabarini) Puteri, apakah Anda akan mengikuti Malin?
PUTERI           :  Tentu saja. Saya istri Malin. Apapun yang terjadi saya harus  
menghormatinya. Maaf, yang ini rahasia, jangan dicatat. Kalau aku ikut  
mertua, tentu akan menyenangkan bunda tapi menyiksa saya. Kembali ke  
orang tua sendiri sama halnya mencoreng kening saya dan menghinakan  
suami tercinta.
MALIN           :  Tidak, Puteri. Dinda tidak bersalah, jadi tidak pantas kalau Dinda ikut 
                           menanggung hukuman ini.
PUTERI           :  Uda, justru aku akan bersalah kalau aku meninggalkan Uda sendiri.
MALIN           :  Pulanglah. Aku tak perlu belas kasihanmu.
PUTERI           :  Uda tega mengusir aku? Udalah yang telah menyunting aku.
MALIN           :  Keberadaan kau di samping aku justru akan melipatkan kesedihan aku.
PUTERI           :  Uda, pengorbanan istri adalah .....
ORANG          :  (Menyela) Maaf. Sudah, sudah. Sekali lagi maaf. Karena ini berkembang
   menjadi urusan pribadi keluarga;  kita tidak sopan kalau membiarkan 
   peristiwa ini terbuka untuk khalayak. Namun baiklah kita pilihkan kata
   damai saja, musyawarah untuk mufakat.

MALIN terus bertengkar tanpa suara. ORANG-ORANG berusaha melerai.

DALANG        :  Ini menjadi peristiwa yang bersejarah. Inilah pertengkaran pertama dalam
   keluarga Malin. Mengapa kekerasan selalu pintar menyusun alasan.
   Biarlah mereka menuntaskan dulu masalahnya. Marilah kita pergi.

Semua pergi.  BUNDA  menangis sendiri.

07

BUNDA          :  Kutuk apa,  dosa apa. Mengapa langit tidak mengubahku menjadi batu saja? 
                           Menjadi batu lebih punya makna daripada kesedihan seorang bunda.
                           (Mengutuk diri sendiri) Batulah aku. Batulah aku. Batulah aku! (Sepi)
   Mengapa langit tak menjawab? Mengapa aku tak menjadi batu? (Kepada
   langit) Ini pasti sudah Kau rencanakan. Senyummu berkilat. Ada yang
   Kau tunggu? Ya, aku sudah tahu. Aku merasa air laut sudah bersiap
   mencatat. Aku mendengar badai sudah berkemas mengantar. Lihatlah. Ini
   akan menjadi  menara peringatan, yang bisa terbaca dari dunia dan sejarah
   yang amat jauh. Malin, Anakku. Bunda telah datang...             

BUNDA menghujamkan tongkat ke dadanya. ORANG-ORANG mencegahnya.

BUNDA          : (Marah) Mengapa aku tidak boleh mengucurkan darahku sendiri? Lihatlah
                          dirimu sendiri. Di darah kau juga mengalir darah bunda karena kalian
                          semua pasti dilahirkan oleh seorang Bunda.
ORANG          : (Menangis) Bunda, jangan kotori kisah ini dengan ceceran darah.
                          Kami sudah cukup menderita dengan apa yang telah terjadi.
BUNDA          : Apa pedulimu. Siapa kalian?
MALIN           : Mereka adalah anak-anak Malin, Bunda. Mereka adalah putera sejarah masa
                          depan.
ORANG          : Cukupkan sudah. Kekerasan demi kekerasan.
ORANG          : Hentikan sudah, bentakan dan cacian.
ORANG          : Peluklah kami. Ajari kami cinta. Sayangilah kami.
BUNDA          : Anak-anak, kalian adalah anak-anakku juga.

Semua berpelukan.
BUNDA          : Kalau sampai sekarang kalian bisa melihat batu Malin Kundang, kalian juga
                          bisa melihat penderitaan bunda. Kalau tidak dengan mata kalian, nama bunda
  akan terbaca dalam darah kau. Tertulis semua dengan huruf besar. Berwarna
  merah dan selalu basah.
BUNDA rebah. Ombak lara mendesah. Udara malam mengirimkan tangisan. BUNDA diusung dengan upacara dan nyanyian.
PENYANYI    :  Langit pucat mengarak duka terlalu pekat
                           Angin laut mengusung asin garam terlalu lekat
                           Ingatkan karat dalam rongga dada terlalu sarat
                           Terlalu lama membusuk dan berkerak-kerak

   Tiada sesal yang paling dalam
   Kecuali kasih terhunus salah paham
   Tiada duka yang membekukan darah
   Kecuali duka oleh kasih bunda

DALANG        :  Mari semua berdekapan
   Sudahi kekerasan demi kekerasan
   Demi melangkah ke masa depan
   Dengan cinta sebagai pedoman.
  

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar