M.S.
Nugroho
MALIN
-The
End Scene
00
Di
lautan. Ombak berdeburan dan langit berkilatan. Kapal membatu dan angin gemetaran.
Sekelompok
orang bernyanyi layaknya nelayan.
Penyanyi : Cerita membuka luka di balik luka
Pedas dan pedih tiada terasa
Air mata hanyalah hiasan
Hati dan pikiran jadi redam
Jika amarah jadi udara
Mulut menyembur tiada terarah
Tangan menusuk sampai berdarah
Setan dan nafsu menjadi kendara
01
Badai
menggeram, suara MALIN tertawa lantang.
MALIN : Tidak. Aku tidak punya bunda seperti kau!
BUNDA : Malin, dosa apa
setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak bumi. Nyawamu
tumbuh
dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan
anakku, kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku, kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu!
Batulah engkau, batulah engkau!
MALIN : Bunda, benarkah engkau itu Bunda?
Dalang : Duh, Bunda si Malin Kundang
Telinga terbakar, hati berdarah
Mulut mengutuk anak tersayang
Langit keramat tersentak dan
jadilah...
PENYANYI : Halilintar mencambuk lautan, maka kutukan jadilah perwujudan.
BUNDA
tertawa kesurupan
02
DALANG : Tapi sekejap kemudian
sadarlah BUNDA.
MALIN telah lenyap dari pandangan.
Tinggal
sebongkah batu kesepian.
Air mata jadi rinai hujan.
PENYANYI : Tiga belas burung camar
berputaran
Dengan paruh teriakan bersahutan
Kini udara menjadi mantra kutukan
Terpendam dari senja kesedihan
BUNDA : Malin! Malin! Malin! Di manakah engkau, Anakku?
Malin, apakah engkau
mendengarku? Malin, jawablah. Sembunyi
di mana, diam di mana, Anakku?
Jawablah. Aku yakin, kau mendengarku. Tidak
bisa tidak, kau pasti
mendengar aku. Dengarlah. Peluklah
Bunda kau sekarang. Katakan kau
merindukan aku. Ayo lakukan. Kalau tidak, buat
apa aku hidup. Aku
menjaga nafasku untuk mencium kening kau. Kalau
Bunda tak kau jawab,
sia-sialah
kuhirup nafasku sendiri. Dan baju sang maut akan lebih layak
kukenakan. Upacara kematian di depan mata anaknya
sendiri yang tak tahu
diri. Kau lihat, Malin. Tongkat
ini masih cukup tajam untuk menusuk
jantung renta ini. Kau kuhitung
sampai sembilan untuk datang kepadaku.
Karena kau telah datang ke pangkuan bunda melalui
sembilan bulan eraman
rahimku. Bersiaplah, aku mulai
menghitung dari angka paling akhir.
Sembilan.... Malin, baiknya, maafkan Bunda. Bunda tak sengaja,
Sayang.
Ini tak sengaja. Ini seperti
teriakan sakit ketika gigi susumu menggigit
putingku. Aku sakit kepada diriku sendiri, bukan kepada kau.
Delapan...
Mana mungkin seorang ibu menyakiti anaknya.
Untuk apa perjuangan
melahirkan kau kuhapus sendiri dengan mengusir
kau. Untuk apa Bunda
mempertaruhkan nyawa kalau untuk membenci kau.
Untuk apa Bunda
membanting tulang untuk kau. Tujuh.... Kalau pada akhirnya harus mengutuk
anaknya. Untuk apa? Malin, itu
bukan Bunda. Sekarang, inilah Bunda,
Malin. Bunda yang rela kakinya berdarah-darah, naik-turun gunung, jutaan
hasta: untuk menatap wajahmu. Enam....
Inilah Bunda, Malin. Bunda
yang sabar sendirian menunggu ratusan malam di tengah udara jahat
dan tamparan hujan: untuk menyambut kedatangan kapal kau. Lima....
Inilah Bunda, Malin. Bunda yang rela mencium kaki kau dan bahkan
berubah menjadi batu supaya kau tersenyum. Empat.... Bunda bersungguh-
sungguh untuk membunuh diri jika kau tak menjawab, Malin. Tiga....
Apakah kau benar-benar telah menjadi batu? Telinga kau menjadi batu
dan hati kau juga menjadi batu?
Dua.... Sampai hitungan kesekian kau tidak
juga menjawabku, Malin? Apakah Bunda terlalu hina untuk kau? Satu.... Ini
sudah masuk hitungan terakhir. Kau di mana? Kau memang batu. Aku
mengajari kau menjadi lautan, kau malah menjadi batu. Aku akan.... Ini
detik terakhir.... Nol....Nol.... Nol.... Malin, kau sangat tega, ya? Ini
kau
sudah putuskan. Baiklah, mungkin ini yang terbaik. Bunda memang bersalah.
Bunda memang telah mengutuk kau. (Mengoyak-ngoyak
bajunya
sendiri)
Badan ini memang tak layak sebagai seorang
bunda. Jantung ini memang
baiknya diam selamanya untuk minta ampun
pada kau. Bunda memang
pantas mati untuk menebus kesalahan Bunda.
Darah ini akan menjadi saksi.
Nyawa ini untuk kau, Malin!
Bunda
menusuk jantungnya sendiri.
DALANG : Duh, derita mana
bisa kalahkan derita bunda
Derita bunda karena kasih kepada putranya
Dipalingkan dan dicampakkan putranya sendiri
Putra yang tak menganggap bundanya lagi
03
Dalam
lindap senja, MALIN bergerak-gerak seperti bayi baru lahir. Matanya penuh air.
Awalnya gagap dan suaranya berupa bisik.
MALIN : Bunda. Bunda.
Jangan lakukan!
BUNDA : Malin? (Tersenyum) Engkaukah itu?
MALIN : Ini Malin, Bunda.
Anakmu.
BUNDA : Malin!
DALANG : Tarian kerinduan membuncah
menjadi pertemuan. Tiada lain yang
dilakukan kecuali pelukan yang
dieratkan. Pelukan demi pelukan yang
sukar terpuaskan.
Bunda
tertawa kegirangan. Sejenak kemudian merona kemarahan dilimbur tangisan.
BUNDA : Kau jahat. Kau jahat. Mengapa kau lakukan ini. Batulah
kau. Batulah kau.
MALIN : Bukankah ini yang Bunda inginkan? Ini Malin sudah menjadi
batu, Bunda.
BUNDA : Apa? Kau tak paham juga. Lihatlah mata Bunda. Dua puluh tiga
matahari
telah memeluk aku dan kau, tapi
kau tak kenal juga wajah Bunda. Ayolah,
bangun. Peluk Bunda.
MALIN : Tidak, Bunda. Biarlah Malin tetap menjadi batu. Menjadi
batu dan tidak
akan berubah.
BUNDA : Kau memang batu dan tidak akan berubah!
MALIN : Ini sudah menjadi garis nasib Malin, Bunda. Langit keramat
tidak akan
mengabulkan kutukan Bunda kalau kata-kata hanya permainan.
Kemarahan Bunda yang paling dalam
telah menggetarkan darah dan
lengan langit.
BUNDA : (Menangis)
Tidak, Malin. Tidak. Bunda tidak marah.
(Tersenyum) Apa yang
paling terang dalam hidup ini adalah misterinya. Ketika
bapak kau ditelan gelombang dulu kukira memang benar-benar meninggalkan aku.
Ternyata tidak. Bapak kau menyisakan cintanya dalam perutku, yaitu kau Malin. Kaulah
cahaya dalam hidupku. Kaulah sumber kebahagiaan aku, Malin. Kau ingat lagu yang
kita nyanyikan bersama dalam sinar bulan? (Menyanyi)
Ketika matahari terang, kita sering bekejar-kejaran di ladang jagung milik
kita. Kau sering bersembunyi di balik gundukan tanah. Malin, Malin. Kupanggili
kau. Aku cemas mencarimu ke mana-mana. Malin, Malin!
MALIN : (Tiba-tiba memeluk
punggung BUNDA dan tertawa-tawa) Malin di sini,
Bunda!
BUNDA : Kau mengagetkan aku, Malin. Kau nakal, Malin. Kau nakal.
MALIN : Tapi aku pernah
menangkap ayam hutan merah untuk Bunda. Lalu kita
panggang malam harinya! Bunda melumuri
dagingnya dengan madu
lebah hutan. Hm... harum. ( Makan) Gurih sekali.
BUNDA : Aku melihat melalui cahaya api panggangan, kau makan
lahap sekali.
Bahkan kau hampir menghabiskan
ayamnya. Tak apalah aku tidak
mendapatkan sisa dagingnya. Aku sudah
senang melihat wajahmu menyala
gembira.
DALANG : Duh, inilah pertemuan anak semata wayang dan bunda
tersayang
Waktu seolah berulang, bayangan jadi layar
terbentang
Kisah sehari-hari jadi indah ketika dikecup
oleh kenangan
Sayang-sayangnya ini bukanlah suasana untuk
senang-senang.
MALIN : (Menangis) Bunda, aku sekarang juga tidak
apa-apa menjadi batu seperti ini.
Tidak
usah cemaskan aku. Biarlah aku bisa merasakan kesepian Bunda
seperti ketika kutinggal merantau dulu.
BUNDA : Tidak, Malin. Bunda
maklum kau tak kenal Bunda lagi. Ketika engkau
pamit, Bunda
masih bugar bersinar. Setelah lewat tiga tahun, Bunda sering
sakit dan ladang
kita telah tergadai. Kemudian aku mendengar angin berkabar: Malin akan berlabuh
di pulau ini. Cepat-cepat aku berangkat.
Aku menunggu kau di pantai. Terus saja aku menatap cakrawala. Tanpa rumah
berteduh, tanpa air untuk berbasuh, tanpa kilau cermin. Berhari-hari. Kau bisa
melihat betapa kacaunya penampilanku (tertawa).
MALIN : (Menangis tambah
keras) Batulah aku. Batulah aku. Betapa durhakanya aku,
Bunda. Bertahun-tahun tega meninggalkan ibunya
sendiri dalam sakit dan
melarat. Anak macam apa aku ini, Bunda. Aku
memang pantas jadi batu,
Bunda...
BUNDA : Malin. Semua itu perintah lautan, anakku.
MALIN : Ketika aku turun
ke pantai ini, kakiku berdarah-darah amat perihnya. Aku
tak
bisa bayangkan kalau yang berjalan itu kau, Bunda. Berlaksa depa
menapak,
turun lembah naik bukit, ditampar malam dihajar siang, didera
lapar, dalam
lara dan nestapa. Kemudian mendapatkan hadiah: ditolak
anaknya. Betapa ini sangat menyakitkan,
Bunda. Aku anak terkutuk. Aku
terkutuk, Bunda.
BUNDA : Aku telah rela,
Anakku. Toh, akhirnya kerinduan telah terbayarkan, Malin.
MALIN : Tapi aku mencampakkan kau, Bunda.
BUNDA : Karena kau tidak tahu. Udara laut telah menyihir mata kau.
Kau menganggap
aku gelandangan atau orang gila. Kau
pasti tidak membayangkan kalau
aku bunda kau.
MALIN : Bunda terlalu ingat pada anak, hingga lupa diri sendiri.
Aku pun tak tahu diri,
hingga lupa kepada bunda sendiri.
DALANG : Hm, sang waktu telah berkhianat
Meremukkan segar wajah Bunda
Jadi renta dan nestapa
PENYANYI : Sang Bumi pun telah beruntun menyerbu
Tanah kebun besar beribu-ribu
Jadi hanya segenggam debu
DALANG : Lalu apa salah jika mata tak lagi kenal Bunda?
Bayangan telah jauh meninggalkan kenyataan.
BUNDA : (Tertawa) Andai
saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu
kepada istri dan anak buah kau?
MALIN : Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA : Jangan justa! Katakan dengan jujur!
MALIN : Tiada pelabuhan
yang paling tenang, kecuali kampung halaman.
Sebenarnya
kami ke pulau ini memang hendak menjemput Bunda.
Tapi...
BUNDA : Kau malu untuk mengakui bahwa ....
MALIN : Jiwaku tidak
sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri Sabarini,
istriku. Aku takut...
04
DALANG : Mendengar namanya
disebut, runtuhlah sebongkah batu, dan jadilah Puteri
Sabarini. Musik pengantin mengembang di udara.
PUTERI : Malin. Malin.
Mengapakah Uda menyebutkan namaku untuk mendurhakai,
Bunda. Siapakah
malu mengakui kalau sang bunda melarat atau tak waras.
Bunda adalah hakikat kehidupan,
tak ada sesuatu pun bisa mengubahnya.
MALIN : Puteri?
PUTERI : Aku menyertai Uda
adalah untuk mencium kaki Bunda. Siapa pun
wanita
itu. Aku adalah menantunya.
MALIN : Maafkan aku, Puteri.
PUTERI : (Merayu) Tidak hanya itu Uda, bersujudlah
kepada Bunda. Mintalah maaf
pada bunda kita. Beliaulah suluh suci untuk pernikahan kita.
BUNDA : Lihatlah, Malin,
inilah anakku itu. Puteri yang agung dan berkilauan. Aku
bangga kau mendampingi puteraku.
DALANG : Maka sepasang
pengantin suci datanglah
Laksana layang camar bercermin di alun tenang
Maka bersujud
di kaki bunda pembawa restu
Laksana
sujud air laut pada pasir pantai
DALANG
membawa payung tombak dan menari. Para penyanyi mengiringi acara yang jadi
pesta pernikahan. Perayaan agung layaknya pernikahan seorang pangeran.
BUNDA : Anak-anakku, terang
dan malam telah mengembangkan namamu. Melihat
kalian adalah
berhadapan dengan bunga mawar. Wajahmu menikmatkan
mata dan wanginya menyegarkan
dada. Tapi durinya membuat kulitku terasa
berdarah.
Aku merasa gembira dan bangga tapi juga merasa cemas
kehilangan kalau kalian menikah.
Tapi ini adalah kehendak matahari. Maka
dengan ini: Aku berkati pernikahan kalian. Jadilah
pengantin abadi yang tak
goyah oleh arus waktu dan
gelombang dunia....
Semua
bertepuk tangan dan bergembira. Tari-tarian ular dan macam-macam pertunjukan
menjadi hiburan yang meriah.
05
Tiba-tiba....
ORANG : (Kepada DALANG) Pak Tua, mengapa
ceritanya jadi begini?
DALANG : Mengapa? Kalian
tidak suka ada kebahagiaan dalam cerita Malin
Kundang?
ORANG : Tidak. Kami tidak
bermaksud demikian. Kami hanya bertanya.
DALANG : Saya memang pembawa
cerita. Tapi bukan berarti saya harus memaksa
para pemain mengikuti pola yang telah ada.
Kalau kalian ingin tahu
alasannya, tanyakan saja kepada pemerannya
sendiri.
ORANG : Baik, Pak. Kami
akan lakukan. Terima kasih.
06
ORANG : (Kepada Malin) Saudara Malin, mengapa
semua jadi begini?
MALIN : Maaf. Kita
hormati wanita utama yang pertama berbicara.
ORANG : (Kepada Bunda)
Bunda, bagaimana perasaan Bunda atas pernikahan
Malin
dan Puteri Sabarini?
BUNDA : (Tersenyum) Tentu saja sangat bahagia.
Kebahagiaan anak adalah
kebahagiaan aku sebenarnya.
ORANG : Kalau begitu “penderitaan
anak adalah penderitaan bunda?” Mengapa Bunda
tega sekali mengubah anak kesayangan menjadi
batu?
BUNDA : (Marah) Dengar dan catat. Aku tidak
pernah mengubah Malin menjadi batu.
Itu di luar kekuasaanku. Langitlah
yang membuat Malin menjadi batu.
Bukan aku.
ORANG : Bukankah sudah
terbukti bahwa Bunda mengeluarkan kata-kata kutukan agar
Malin menjadi batu?
BUNDA : Apa? Siapa yang
menyebut kutukan?
ORANG : Kalau Bunda tak
mengutuk Malin mana mungkin Malin menjadi batu?
BUNDA : Kalau langit tak
berkenan mana mungkin itu terjadi! (Menangis)
Sudah
cukup. Ini bukan wawancara. Ini pembunuhan.
Ini pembunuhan! (Pergi)
ORANG : Malin, Malin.
Bagaimana pernyataan Anda, Malin?
MALIN : Maaf. Tolong. Perempuan
lebih dulu. (Membopong Bunda pergi)
ORANG : (Kepada Puteri Sabarini) Puteri, apakah
Anda akan mengikuti Malin?
PUTERI : Tentu saja. Saya
istri Malin. Apapun yang terjadi saya harus
menghormatinya. Maaf, yang ini rahasia, jangan dicatat. Kalau aku ikut
mertua, tentu akan menyenangkan bunda tapi menyiksa saya. Kembali ke
orang tua sendiri sama halnya mencoreng kening saya dan menghinakan
suami tercinta.
MALIN : Tidak, Puteri.
Dinda tidak bersalah, jadi tidak pantas kalau Dinda ikut
menanggung hukuman ini.
PUTERI : Uda, justru aku
akan bersalah kalau aku meninggalkan Uda sendiri.
MALIN : Pulanglah. Aku
tak perlu belas kasihanmu.
PUTERI : Uda tega mengusir
aku? Udalah yang telah menyunting aku.
MALIN : Keberadaan kau di
samping aku justru akan melipatkan kesedihan aku.
PUTERI : Uda, pengorbanan
istri adalah .....
ORANG : (Menyela) Maaf. Sudah, sudah. Sekali lagi
maaf. Karena ini berkembang
menjadi urusan pribadi keluarga; kita tidak sopan kalau membiarkan
peristiwa ini terbuka untuk
khalayak. Namun baiklah kita pilihkan kata
damai saja, musyawarah untuk mufakat.
MALIN
terus bertengkar tanpa suara. ORANG-ORANG berusaha melerai.
DALANG : Ini menjadi
peristiwa yang bersejarah. Inilah pertengkaran pertama dalam
keluarga Malin. Mengapa kekerasan selalu
pintar menyusun alasan.
Biarlah mereka menuntaskan dulu masalahnya.
Marilah kita pergi.
Semua
pergi. BUNDA menangis sendiri.
07
BUNDA : Kutuk apa, dosa apa. Mengapa langit tidak mengubahku menjadi
batu saja?
Menjadi batu lebih punya makna daripada
kesedihan seorang bunda.
(Mengutuk
diri sendiri) Batulah aku. Batulah aku. Batulah aku! (Sepi)
Mengapa langit tak menjawab? Mengapa
aku tak menjadi batu? (Kepada
langit) Ini pasti sudah Kau rencanakan. Senyummu
berkilat. Ada yang
Kau tunggu? Ya, aku sudah tahu. Aku merasa air
laut sudah bersiap
mencatat.
Aku mendengar badai sudah berkemas mengantar. Lihatlah. Ini
akan
menjadi menara peringatan, yang bisa
terbaca dari dunia dan sejarah
yang
amat jauh. Malin, Anakku. Bunda telah datang...
BUNDA
menghujamkan tongkat ke dadanya. ORANG-ORANG mencegahnya.
BUNDA : (Marah) Mengapa
aku tidak boleh mengucurkan darahku sendiri? Lihatlah
dirimu sendiri. Di darah kau juga mengalir
darah bunda karena kalian
semua pasti dilahirkan oleh seorang Bunda.
ORANG : (Menangis)
Bunda, jangan kotori kisah ini dengan ceceran darah.
Kami sudah cukup menderita dengan apa yang
telah terjadi.
BUNDA : Apa pedulimu. Siapa kalian?
MALIN : Mereka adalah anak-anak Malin, Bunda. Mereka adalah putera
sejarah masa
depan.
ORANG : Cukupkan sudah. Kekerasan demi kekerasan.
ORANG : Hentikan sudah, bentakan dan cacian.
ORANG : Peluklah kami. Ajari kami cinta. Sayangilah kami.
BUNDA : Anak-anak, kalian adalah anak-anakku juga.
Semua
berpelukan.
BUNDA : Kalau sampai sekarang kalian bisa melihat batu Malin
Kundang, kalian juga
bisa melihat penderitaan bunda. Kalau tidak
dengan mata kalian, nama bunda
akan terbaca dalam darah kau. Tertulis
semua dengan huruf besar. Berwarna
merah dan selalu basah.
BUNDA
rebah. Ombak lara mendesah. Udara malam mengirimkan tangisan. BUNDA diusung
dengan upacara dan nyanyian.
PENYANYI : Langit pucat mengarak
duka terlalu pekat
Angin laut mengusung asin garam terlalu lekat
Ingatkan karat dalam rongga dada terlalu
sarat
Terlalu lama membusuk dan berkerak-kerak
Tiada sesal yang paling dalam
Kecuali kasih terhunus salah
paham
Tiada duka yang membekukan darah
Kecuali duka oleh kasih bunda
DALANG : Mari semua
berdekapan
Sudahi kekerasan demi kekerasan
Demi melangkah ke masa depan
Dengan cinta sebagai pedoman.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar